logo
×

Senin, 10 April 2017

Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia?

Mengapa Perang Saudara Syria, Pelajaran Penting Bagi Indonesia?

Maknanya bagi kita - kalau Amerika Serikat (AS) bisa melakukan kepada Syria, perlu ditafsiran, hal serupa juga bisa dilakukannya terhadap Indonesia.

Apalagi AS sudah berpengalaman mengobrak abrik kedaulatan sejumlah negara di semua benua, kecuali Australia.

Indochina di tahun 1970-an, diintervensi AS. Setelah itu, Afghanistan, Irak, Libya dan lain-lain dalam dekade terakhir ini. Tak dihitung negara di Amerika Latin.

Dan kini Syria yang secara resmi, diintervensinya sejak 4 tahun lalu.

Serangan AS terhadap wilayah Syria, semakin mengentalkan aksioma, siapapun yang memimpin di Gedung Putih, politik luar negerinya sama.

Partai Demokrat (terakhir dipimpin Barack Obama) dan kini Partai Republik (era Donald Trump), prilaku dan ideologi keduanya, sama.

Setiap negara yang tak patuh pada Washington, apalagi yang berkaitan dengan bisnis raksasa, harus dikerdilkan, bila perlu dieliminir atau dihancurkan.

Demokrat dan Republik, hanya berseberagan dalam isu dalam negeri. Tetapi terhadap isu internasional khususnya perang, mereka sama dan solid.

Lihat saja sikap Donald Trump.

Presiden yang berlatar belakang pebisnis ini, tadinya mengesankan, sebagai pemimpin yang anti perang militer.

Ia mau bersahabat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, kendati Putin sudah di-stigmakan sebagai pemimpin Rusia yang tak cocok jadi sahabat AS.

Trump berusaha melakukan perlawanan atas stigma itu. Tapi akibat berbagai tekanan dalam negeri, akhirnya berbalik, memusuhi Rusia.

Untuk gambarannya bisa dilihat dari perubahan peliputan di televisi CNN.

Trump yang tadinya dimusuhi oleh media milik Ted Turner tersebut, di 24 jam hari terakhir, berbalik 180 derajat. Itu gara-gara kebijakannya menyerang Syria, negara yang dipimpin Bashar Assad.

Perubahan Trump menunjukkan Presiden AS melanjutkan politik luar negeri Presiden Obama yang digantikannya.

Itu sebabnya, cara pandang terhadap Amerika, tidak bisa hanya dari statusnya sebagai kampiun demokrasi. Tetapi harus dicermati secara kasus per kasus.

Indonesia hendaknya jangan terlalu percaya pada analisa dari mereka, alumni lembaga pendidikan AS yang cenderung mengamini semua kebijakan internasional AS.

Jaringan lobi Amerika di Indonesia yang juga sangat kuat, patut diwaspadai. Tidak boleh dianggap remeh.

Pandangan mereka, para lobiest AS yang berpihak, bisa meminimkan sikap kritis dan nasionalisme kita.

Indonesia perlu selalu alert atau waspada!

Namun tidak berarti harus memusuhi AS secara membabi buta pula.

Hubungan bersahabat yang baik, tetap perlu dijaga. Paling tidak meniru Meksiko. Negara ini sebagai tetangga terdekat bersahabat baik dengan AS. Namun dekatnya jarak, tidak membuat Meksiko kehilangan daya kritis dan kewaspadaannya.

Perlu ketajaman mencium, seperti seekor anjing dalam mendeteksi gerak-gerik seorang yang patut dicurigai. Perlu diterapkan sikap yang tidak gampang dipegang, licin seperti ikan belut.

Atau piawai seperti burung merpati yang selalu kooperatif, ketika diajak membantu. Namun tetap sesuai batas kemampuan.

Tadinya, dunia sudah berharap, Perang Saudara Syria, bakal berakhir setelah pasukan pemerintah Syria, berhasil membebaskan Allepo dari kelompok oposisi yang didukung AS, tahun lalu.

Oposisi di Allepo bercampur baur dengan ISIS. Sehingga tidak gampang membedakan, siapa yang berambisi melengserkan Assad dan siapa yang mau menegakkan negara Islam.

Di Allepo pula bisa dilihat kebijakan AS yang berstandar ganda.

Sebab di satu sisi AS katanya memerangi ISIS di Irak, tetapi di Syria, tetangga terdekat Irak, AS merangkul pentolan ISIS yang satu ideologi dengan mereka yang di Irak.

Kemenangan pasukan pemerintah Syria, di Allepo, merupakan kekalahan atas AS yang saat itu dipimpin Barack Obama.

Kekalahan ini sangat memalukan AS. Kekalahan di Syria, seperti menjadi akhir dari upaya AS menjadi "Polisi Dunia".

Kekalahan di Allepo mirip dengan kekalahan AS di Indochina tahun 1975.

Posisi Presiden Barack Obama di kekalahan Allepo, mirip yang dialami dua Presiden AS terdahulu, Richard Nixon dan Lyndon B Johnson.

Keduanya menjadi penentu kebijakan di Perang Vietnam, dipermalukan oleh semangat rakyat setempat. Rakyat Vietnam yang hanya bersenjatakan "bambu runcing", mendukung tentara pemerintahnya, untuk melawan tentara AS yang dipersenjatai senjata modern.

Akhirnya rakyat Vietnam-lah yang mengakhiri Perang Saudara Vietnam.

Kemenangan Presiden Asad atas Allepo sangat berarti. Sebab Allepo merupakan salah satu kota paling strategis dalam banyak hal di Syria. Sekaligus memperkuat ikatan Assad dengan Rusia atau sama dengan Presiden Vietnam dengan Uni Sovyet, induknya Rusia.

Donald Trump yang tahun lalu masih menjadi kandidat Presiden, sudah menegaskan, jika dia menang dalam Pilpres 8 Nopember 2016, pihaknya tidak akan mendukung penggulingan Assad.

Trump menunjukkan simpati persahabatannya dengan Putin, seorang Presiden yang berlatar belakang agen rahasia.

Dalam konflik Allepo, Putin dan Trump seakan dipersatukan.

Sebab Donald Trump juga ingin menjaga kedudukan Assad yng dilindungi Vladimir Putin.

Trump secara verbal menegaskan tidak mau melanjutkan tradisi AS yang selalu menumbangkan sebuah rezim, bila berbeda haluan dengan Washington.

Tak ada lagi dukungan Trump terhadap kekuatan oposisi di sebuah negara. Karena cara itu di mata dia hanya membebani anggaran belanja negara AS.

Sejalan dengan kebijakan itu, Trump berrencana membubarkan NATO, sebuah pakta militer yang didanai AS di Eropa. Dana buat NATO mubasir.

Pembubaran NATO merupakan kabar baik bagi Putin atau negaranya Rusia, yang bertetangga dengan negara Eropa yang jadi anggota pakta pertahanan militer itu.

Dampak pembubaran NATO, diseut-sebut bakal merembet ke konsep pertahanan global AS.

Bukan mustahil mempengaruhi kehadiran semua pangkalan militer AS di luar wilayah AS.

Diperhtungkkan bakal ditutup pangkalan-pangkalan AS di Diego Garcia, Samudera Indonesia, yang lokasinya menghadap ke Jawa bagian Selatan.

Atau merembes ke pangkalan militer di Darwin, Australia Utara yang dekat dengan Papua maupun Nusa Tenggara Timur.

Juga diperhitungkan, AS bakal tak akan ikut campur dalam konflik kepemilikan pulau di perairan Laut Cina Selatan. Wilayah yang berdekatan dengan Natuna, pulau terujung Indonesia di Riau Kepulauan.

Naga-naganya, suasana damai di dunia yang didukung Donald Trump bakal jadi kenyataan.

Tetapi belum lagi gagasan Donald Trump tersebut terlaksana - serdadu AS di Timur Tengah tiba-tiba beraksi. Menyerang kedaulatan Syria. Dan serangan itu atas perintah Trump.

Ironis, karena serangan itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari 100 hari Trump berkuasa di Gedung Putih.

Dan Trump mengaku, dia berubah pikiran terhadap rezim Assad.

Tindakan bombardir ini tidak hanya merugikan Syria, tetapi menciptakan permusuhan baru antara Trump dan Vladimir Putin, Presiden Rusia yang mendukung pemerintahan resmi di Syria.

Ngeri, membayangkan jika kebijakan yang tidak pro damai ini dilakukan AS di Asia, khususnya Indonesia.

Mengingat dalam beberapa isu, persoalan Syria, ada kesamaannya dengan kondisi Indonesia.

Yang paling dekat terletak pada adanya kekuatan tertentu yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Keberadaan sumber daya alam yang tak terbatas di bumi Nusantara, menjadi inceran pebisnis raksasa yang didukung oleh negara adi daya seperti AS. Sama dengan pebisnis gas di AS yang mengincer enerji di Syria.

Di Papua, wilayah paling Timur Indonesia, terdapat sumber daya alam yang kandungannya tak terbatas. Tetapi juga disana ada OPM yang ingin memerdekakan pulau tersebut, terpisah dari NKRI.

Konflik, sangat berpotensi pecah di Papua.

Bukan rahasia lagi OPM memiliki lobi kuat di berbagai lembaga di AS, antara lain dengan menggunakan isu rumpun Melanesia. Dan di AS, rumpun Melanesia lebih dikenal dan berpengaruh ketimbang rumpun Melayu apalagi Indonesia.

Kita berandai-andai, OPM bisa diprovokasi agar lebih militan menghadapi rezim Jakarta.

Dibuatlah skenario yang menyebut telah terjadi pembantaian masyarakat sipil di sebuah daerah terisolir di Papua oleh sekelompok pasukan TNI.

Pembantaian itu divideokan, kemudian diviralkan ke dunia maya. Lalu dimunculkan tuduhan, bahwa Presiden Joko Widodo yang bertanggung jawab atas pembantaian tersebut.

Kebetulan posisi politik Presiden Joko Widodo sedang tidak dekat dengan AS. Ketidakdekatan ini sama dengan ketidaksukaan.

Isu inilah yang menjadi alasan dan embrio untuk memusuhi Indonesia.

ALASAN AS memusuhi Presiden Joko Widodo, cukup kuat. Sebab Presiden ke-7 RI ini sedang membangun hubungan baik dengan Rusia dan RRT.

Dua negara terakhir ini, merupakan saingan global AS baik secara bisnis maupun militer.

Alasan kuatitu terletak pada sejarah. Naiknya Joko Widodo ke kursi Presiden, mulai dari Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, sampai akhirnya menjadi Presiden RI, tidak lepas dari peran dan skenario AS.

Negara adidaya ini, berkesimpulan hanya seorang Presiden yang berkarakter seperti Pak Jokowi yang akan mampu mereka kendalikan. Dia berwajah innocent, tidak banyak musuh dan berasal dari Partai Politik yang masih berbau titisan Soekarno. Kali ini AS memberi "panggung" ke partai yang menjadi pendukung Soekarno.

Jokowi adalah pilihan tepat ketimbang Prabowo Subianto, seorang militer berlatar belakang pendidikan Barat. Yang rekam jejaknya sudah diketahui AS sebagai sosok yang tak bakal bisa dikendalikan.

Peran AS itu dimainkan oleh para lobiest AS di Indonesia. Sekalipun secara kasat mata, peran itu tak bisa dibuktikan apalagi dilihat.

Yang ada hanya dirasakan, plus cerita rumor yang beredar atas dasar "katanya-katanya".

Usaha Joko Widodo yang tidak menyenangkan AS, terdapat pada keputusannya mengunjungi Iran, baru-baru ini. Mengapa ? Yah karena Iran merupakan negara sekutu terkuat Rusia di dunia Islam.

Selain itu sejak Revolusi Islam Iran di tahun 1980-an dimana Shah Iran, rezim dan dinasti yang didukung AS, ditumbangkan, telah menyebabkan hubungan Washington - Teheran, putus total.

AS sangat dirugikan atas situasi itu. Sebab para mahasiswa Iran yang belajar berbagai teknologi tinggi di AS, kini sudah kembali ke Iran, membangun nagara itu atas visi Revolusi Islam.

Jika Iran diketahui memiliki kemampuan memproduksi senjata nuklir, itu tidak lain karena ilmu yang diperoleh para mahasiswa Iran, saat belajar di AS, tahun 1970-an.

AS akhirnya menempatkan Iran sebagai negara Islam Syi'ah.

Di sisi lain, AS menempatkan Arab Saudi sebagai sekutu tandingannya dengan Iran, selaku negara Islam Sunni.

Perbedaannya, kalau Syi'ah dimusuhi AS, Sunni, tidak. Atau sama dengan AS merangkul Arab Saudi tetapi memusuhi Iran. Rangkulan AS terhadap Arab Saudi, diperkuat dengan hadirnya pangkalan militer AS di negara tempatnya kota suci umat Islam, Mekkah dan Medina.

Dampaknya antara lain, terjadi perpecahan di kalangan dunia Islam yang membagi Sunni versus Syi'ah.

Kunjungan Jokowi ke Iran, diawali dengan lawatan ke India. Negara ini juga termasuk yang tidak terlalu akrab dengan AS.

Penyebabnya antara lain, India yang merupakan negara yang memiliki penduduk kedua terbanyak di dunia, setelah RRT, memiliki nasionalisme yang kuat. India juga sama dengan Indonesia berada dalam grup negara anggota Non Blok, gerakan yang tidak disukai AS.

Bisa diartikan, di mata AS, Joko Widodo mulai berprilaku nakal. Dia lupa yang menjadikannya sebagai Presiden bukan hanya pemilih Indonesia, tetapi AS sebagai negara adidaya yang pengaruhnya terhadap kehidupan politik Indonesia sangat kuat.

Selain Rusia dan India, ada faktor RRT.

Kehadiran RRT di Laut Cina Selatan, sepertinya tidak dimusuhi oleh Presiden Joko Widodo. Hal mana menambah kecurigaan, bahwa Indonesia saat ini memang sudah semakin iengket dengan RRT.

Kedekatan ini tentu saja cukup menimbulkan kecembiuruan AS. Sebab dengan begitu AS gagal menciptakamn jarak antara negara komunis itu dengan Indonesia. Sementara yang menciptakan permusuhan RI - RRT pada tahun 1965, justru AS.

Maka jadilah RRT bersama Rusia yang dua-duanya ibarat darah ada DNA komunisnya, sebagai ancaman potensil buat negara anti-komunis AS, di kawasan Asia.

Kedekatan RI-RRT makin mengancam AS, sebab keduanya terlibat dalam proyek yang saling menguntungkan. Yaitu jual beli gas, gas yang berasal dari Tanggu, Papua.

Selain itu, kedua negara juga masih bekerja sama dalam berbagai proyek. Masih ada proyek raksasa, seperti kereta api tercepat Jakarta - Bandung.

Tapi gas Tanggu semakin senistif bagi AS, sebab kesepakatan itu dicapai kedua negara ketika Indonesia dipimpin Megawati Soekarnoputri. Sementara Megawati merupakan putri mendiang Soekarno, yang dikenal sebagai salah seorang pemimpin Indonesia yang jadi musuh utama AS.

Soekarno dimusuhi AS karena ideologi nasionalismenya, bertentangan dengan sistem kapitalisme dan demokrasi liberal yang jadi urat nadi AS.

Sedangkan Rusia, pecahan bekas negara komunis Uni Sovyet - eks musuh AS di era Perang Dingin. Negara ini sedang mengincer Pulau Biak, di Papua Barat.

Rusia mau menjadikan Biak, sebagai tempat peluncuran berbagai jenis satelit. Keinginan Rusia ini tidak disukai AS dengan sejumlah alasan.

Biak yang memiliki lebih dari satu lapangan terbang, berkemampuan menampung pesawat militer.

Semua lapangan terbang di Biak, dibangun di eraJenderal Douglas McArtur, Panglima Pasukan Sekutu AS di Pasifik, di era Perang Dunia Kedua/Perang Pasifik.

Pembangunan bandara di Biak, dilakukan lebih dari 70 tahun lalu dengan tujuan sebagai basis semua armada udara AS untuk memerangi Jepang, dalam Perang Pasifik.

Jika di era sekarang, Biak jatuh ke Rusia, secara psikologis, hal itu sama dengan sebuah kekalahan dalam perang diplomasi. Atau jatuhnya Biak ke tangan kompetitor AS, sama dengan hilangnya pengaruh dan legacy-nya AS di Papua atau Pasifik.

Sehingga kedekatan Indonesia dengan RRT dan Rusia, atau kehadiran RRT dan Rusia di Papua, secara geopolitik, sangat mengganggu eksistensi AS.

Apalagi di Papua sejak 50 tahun lalu, beroperasi Freeport, perusahaan tambang terbesar di dunia, milik AS.

Seperti sebuah mimpi di siang bolong, AS yang sudah "berkuasa" di Papua, sejak 1967, tiba-tiba diminta "berbagi" kekuasaan oleh Indonesia untuk memberi kenyamanan terhadap tetangga baru, RRT dan Rusia.

Tambang Freeport ini sendiri disebut-sebut sangat vital bagi AS. Sebab konon Freeport menjadi pemasok uranium, komponen penting bagi pembuatan senjata nuklir di Amerika.

Dari tambang Papua, AS juga disebut-sebut berhasil memperoleh cadangan emas terbesar di dunia. Bisnis emas di dunia goncang , jika emas di Papua jatuh ke Indonesia atau negara lain yang bukan AS.

Bisnis emas dunia bakal goncang, jika kelak AS tak lagi seleluasa di Papua, seperti setengah abad terakhir ini.

Kembali ke soal 'pembantaian', tanpa penyelidikan pihak independen, beredarlah video pembantaian di Papua, yang berviral ke seluruh dunia. TNI dituduh bertindak brutal.

Padahal dalam era sekarang, pembuatan video berdurasi singkat seperti itu, bisa saja diproduksi oleh produsen film Hollywood.

Apa sih sulitnya membuat film pendek, mendanai proyek video seperti itu ? Sementara Hollywood mampu memproduksi film kolosal yang seolah-olah sebuah kisah nyata, plus biaya jutaan dolar.

Jadi bukannya apriori terhadap tudingan bom kimia yang dijatuhkan tentara Syria terhadap rakyat Syria. Tapi sangat mungkin apa yang dituduhkan itu, merupakan bagian dari Perang Urat Syaraf ataupun "War by Proxy".

Sulitnya, tak ada lembaga independen yang mampu memverifikasi. Sedangkan PBB, tak bisa lagi diharap banyak karena sudah dikooptasi oleh Washington.

Walaupun ada videonya yang kini beredar luas di YouTube, saya pribadi masih ingin ada yang bisa memastikan keabsahannya.

Sebab untuk membuat video seperti itu, orang awam saja, sudah bisa melakukannya.

Jangan kaget jika saat ini banyak beredar video editan yang sengaja diproduksi untuk kepentingan propaganda maupun agenda tertentu. Sebab teknologi video, bukan lagi termasuk tekno tinggi.

Masih menjadi tanda tanya besar apakah seorang Presiden Syria, rela membunuh rakyatnya sendiri dengan bom kimia ?

Sejarah mencatat, negara yang bisa membuat senjata seperti itu, bukanlah negara miskin seperti Syria. Kemiskinan Syria, tak memungkinkan rezim ini membeli senjata kimia yang harganya mahal.

Sejarah Perang Indochina, membuktikan negara yang menggunakan senjata kimia di perang tersebut bukan tentara komunis Vietkong. Tetapi tentara AS.

Lantas Trump, Presiden AS yang hanya memperoleh laporan sepihak dari aparat intelejen - katakanlah CIA, memutuskan membombardir Jakarta atau wilayah lainnya yang dianggap posisi kunci NKRI.

Jangan lupa AS, menginvasi Irak di tahun 2003, berdasarkan laporan CIA. Bahwa Irak yang dipimpin Saddam Husein memiliki senjata kimia dan senjata pemusnah massal (mass destruction weapon).

Laporan CIA itu terbukti tidak benar, walaupun akhirnya laporan tidak benar itulah yang dijadikan dasar untuk menghancurkan Irak termasuk menggantung Saddam Husein-nya, setelah melalui pengadilan yang sudah diatur.

Karena itu, pengandai-andaian ini, bukan sebuah usaha menimbulkan anti pati pada AS. Tapi sebagai "wake up call" untuk semua warga yang cinta NKRI. Dan bagian dari tanggun jawab intelektual, untuk berbagi apa yang bisa dibagi.

Perlu pengandaian, sebab serangan terhadap Indonesia bisa menjadi sebuah keniscayaan.

Serangan itu dapat dilakukan kapan saja oleh berbagai pangkalan militer AS yang mengelilingi wilayah se Nusantara. Kita mungkin tak perlu berandai andai sekarang, misalkan Donald Trump beristerikan salah seorang wanita asal Indonesia.

Serangan itu bisa berasal dari Diego Garcia (Samudera Indonesia), Darwin, Singapura, Clark dan Subic Bay (Filipina) atau Armada VII yang bebas berseliweran melintas di dalam wilayah Indonesia.

Saya tidak berharap bombardemen itu terjadi. Namun tak ada salahnya bagi kita untuk tidak menganggap remeh, atau menafikan apa yang terjadi di Syria dan prilaku AS yang mengobok-obok negara di Timur Tengah.

Dari Perang Saudara Syria, cukup jelas terbaca, konflik internal di sebuah negara, sangat mudah dijadikan pintu masuk oleh kekuatan asing untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan sebuah bangsa.

Di sini, perbedaan agama dan suku, kaya dan miskin, yang jadi awal konflik internal, tidak lagi menjadi isu sentral. Hanya sebagai pendomplengan.

Hanya jembatan untuk memasuki wilayah kedaulatan kita - biar tak kelihatan kasar, melanggar kedaulatan.

Saya harap anda bersepakat. Namun kalau tidak, tak apa-apa.

Permintaan saya, cuma satu ; abaikan dua artikel ini jika tidak berkenan dan tidak harus menunjukkan kritik yang penuh egoisme dan arogansi. Tamat. (rmol)

Derek Manangka
Penulis adalah wartawan senior
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: