IDNUSA - Publik dibuat gamang dengan status para tersangka kasus dugaan pemufakatan makar yang melibatkan sejumlah tokoh nasionalis. Apalagi, sudah empat bulan sejak mereka ditangkap 2 Desember 2016 lalu, belum ada kejelasan status atau proses hukumnya dari pihak Polda Metro Jaya (PMJ).
"PMJ harus segera menjelaskan nasib tersangka di perkara makar. Supaya masyarakat mengetahui secara terang benderang. Apakah para tokoh nasionalis itu benar-benar hendak melakukan makar. Atau tuduhan itu, hanya akal akalan pihak tertentu saja?" kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane, Sabtu (1/4).
Menurut Neta, pihak PMJ harus segera melimpahkan berita acara pemeriksaan (BAP) kasus tersebut ke kejaksaan dan bisa dituntaskan di pengadilan. Apalagi, jika para tersangka memang bisa dibuktikan benar-benar hendak melakukan makar. Serta, polisi memang benar-benar memiliki alat bukti yang kuat.
"Jadi, harus dijelaskan ke publik, kenapa BAP kasus makar Rachmawati dan Kivlan cs tak kunjung dilimpahkan ke kejaksaan. Apakah PMJ kesulitan untuk mendapatkan dua alat bukti yang disyaratkan UU atau ada hal lain. Publik perlu mengetahui hal ini karena Polri adalah lembaga publik yang dibiayai dari uang rakyat," papar Neta.
Selain itu kasus makar yang dituduhkan PMJ kepada Rachmawati dan Kivlan cs juga menyangkut kepentingan dan ketertiban masyarakat. PMJ tidak boleh membiarkan sebuah kasus begitu saja. Apalagi untuk kasus dugaan pemufakatan makar.
Jika tidak mampu membuktikan tuduhannya setelah melemparkan tuduhan tersebut, pihak PMJ harus segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sekaligus menghentikan kasus makar terhadap Rachmawati dan Kivlan cs.
"Setelah itu meminta maaf dan merehabilitasi nama baik tokoh tokoh nasionalis yang dituduhkan akan melakukan makar," tutur Neta.
IPW juga mendukung penuh langkah Polri dalam melakukan penegakan hukum. Terutama dalam melindungi masyarakat dari berbagai ancaman kamtibmas. Namun, dalam melakukan penegakan hukum, Polri harus profesional, proporsional, konsisten, dan tidak menjadi alat kekuasaan.
"PMJ sebagai aparatur kepolisian yang profesional, tidak boleh mengambangkan dan mengombangambingkan kasus makar yang dituduhkan. Karena ini menyangkut nasib dan status hukum para tokoh nasionalis tersebut," pungkasnya.
Sebelumnya, salah satu tersangka kasus tersebut, Sri Bintang Pamungkas (SBP), dilepaskan pihak PMJ setelah menjalani penahanan selama 103 hari. Setelah permohonan penangguhan penahanan yang diajukan melalui kuasa hukumnya dikabulkan PMJ, 15 Maret lalu.
Namun, SBP menolak wajib lapor yang disyaratkan dalam proses pembebasan dirinya. Alasannya, proses masa penahanan tersangka hanya berlaku selama 110 hari untuk tahap penyidikan dan penuntutan. Menurutnya, hal itu diatur dalam KUHP. Rinciannya, masa penyidik selama 20+40 hari (perpanjangan), dan masa tahanan penuntut umum selama 20+30 hari. Jika dalam masa tersebut proses penyidikan belum rampung, lanjut SBP, maka tersangka dinyatakan bebas demi hukum.
Apalagi, selama ini berkas perkara SBP dan tujuh tersangka pemufakatan makar lainnya, hanya bolak balik dari PMJ ke Kejaksaan Tinggi DKI. Artinya, penyidik tidak sanggup merampungkan berkas perkara, dan wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka.
"Aku nggak pernah dengar disuruh (wajib) lapor. Dan aku nggak mau melapor. Kalau sudah 110 hari (60+50 hari), bebas (demi hukum). Polisi harus mengeluarkan SP3," tegas SBP beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, sebelas orang diamankan polisi jelang aksi Bela Islam Jilid III atau Aksi Damai 212, 2 Desember 2016 lalu. Delapan tersangka dijerat Pasal 107 juncto Pasal 108 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP dengan ancaman hukuman seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara.
Selain SBP, tujuh lainnya adalah Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Eko, Adityawarman, Firza Husein, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, dan Alvin Indra. Sedangkan satu tersangka terjerat kasus penodaan atas simbol negara, yaitu Ahmad Dhani. Serta dua bersaudara ditangkap atas kasus hate speech, Jamran dan Rizal Kobar. Dua nama terakhir bahkan dijerat pasal lainnya terkait UU ITE dan dugaan suap. (rmol)