Kaum perempuan dari berbagai daerah diantaranya Makassar, Palu, Bali, Jakarta dan Lampung yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan mendeklarisakn gerakan Perempuan Tolak Reklamasi di Jakarta Pusat, Minggu (13/3/2016). Para perempuan menilai projek reklamasi yang ada di Indonesia merugikan bagi kaum nelayan di pesisir khususnya nelayan perempuan yang menjadi tempat kehidupannya. |
Kepala Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan Bebas dan Investasi dari Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawati, menyatakan, posisi perempuan sebagai pengelola keuangan rumah tangga akan semakin terhimpit saat ekonomi rumah tangga nelayan semakin sulit.
Mereka harus menutupi kebutuhan keluarganya sehingga banyak di antara mereka yang kemudian juga menjadi buruh cuci, pengumpul kardus, plastik dan pekerjaan lainnya.
“Ditambah dengan beban kerja domestiknya, rata-rata perempuan di pesisir Jakarta bekerja sedikitnya 17 jam sehari. Hal ini pasti mengancam kesehatan reproduksinya,” jelas Arieska kepada Aktual, Senin (20/3).
Ia mengungkapkan, dampak ekonomi dirasakan secara langsung kaum perempuan nelayan. Dicontohkan bagaimana industri pengupasan kulit kerang hijau di kawasan Pantai Jakarta yang dilakoni oleh perempuan.
Pasca pelaksanaan reklamasi, lanjutnya, perempuan pengupas kerang hijau semakin sulit mendapatkan bahan baku. Mereka terpaksa harus memanen kerang-kerang kecil sehingga penghasilannya jauh menurun.
Pemerintah, kata dia, seharusnya lebih memperhatikan nasib nelayan karena profesi ini sendiri sangat berperan dalam menyuplai gizi kepada masyarakat Indonesia. Terlebih, pekerjaan nelayan bukan tanpa resiko serta penghasilannya pun sangat bergantung pada kondisi alam dan laut.
“Nelayan memang kan pekerjaan yang berisiko tinggi, penghasilan tak menentu dan kurang dukungan, fasilitas serta jaminan perlindungan atau asuransi,” ucap Arieska.
“Namun mereka ini sesungguhnya pahlawan protein bangsa, dan nelayan bagi mereka adalah identitas bukan sekedar pekerjaan. Reklamasi memperparah beban yang sudah ada,” pungkasnya. (akt)