Menristekdikti, Mohamad Nasir |
"Saya 'dibully' habis-habisan gara-gara peraturan itu. Begitu Permenristekdikti itu keluar, besoknya ada tulisan di koran tentang peraturan itu," ujar Menristekdikti usai membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ahli dan Dosen Republik Indonesia (ADRI) di Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/3).
Dalam artikel di salah satu koran besar itu, kata dia, membahas mengenai peraturan yang mewujudkan para guru besar dan lektor kepala menulis jurnal itu. "Ujung-ujungnya, penulis itu meminta perlu adanya penyegaran kembali bagi para guru besar bagaimana menulis jurnal internasional. Pertanyaan saya, bagaimana bisa menjadi guru besar tapi lupa cara menulis jurnal?," kata Nasir mempertanyakan.
Dalam peraturan itu dijelaskan bahwa lektor kepala harus menghasilkan sedikitnya tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi, dan satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental.
Lektor kepala yang tak dapat memenuhi karya ilmiah tersebut, dihentikan sementara tunjangan profesinya. Sementara itu, untuk jabatan guru besar atau profesor paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi.
Profesor harus menghasilkan buku atau paten atau karya seni monumental dalam kurun waktu 3 tahun. "Bahkan di Taiwan, guru besar harus mempublikasikan sedikitnya dua karya ilmiah internasional," katanya.
Dalam publikasi ilmiah, Menristekdikti meminta agar dosen jujur. Ia juga meminta perguruan tinggi untuk mengalokasikan anggaran untuk penelitian, dan tidak hanya untuk pengajaran saja. (rol)