IDNUSA, JAKARTA - Apa yang ditanam, itu yang akan dituai. Jika menanam inefisensi, maka yang dituai adalah kerugian. Nasihat bijak itu sudah banyak terbukti dalam kiprah perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil.
Hari ini, tersiar berita kurang sedap tentang maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Mengutip informasi Bursa Efek Indonesia, laba bersih GIAA sepanjang 2016 tercatat 8,06 juta dolar AS atau setara Rp 104,78 miliar dengan kurs Rp 13.000. Berarti, laba bersihnya merosot 89,41 persen dibandingkan pencapaian sepanjang 2015 yang senilai 76,48 juta dolar AS.
Pendapatan perseroan yang dikabarkan meningkat 1,3 persen tidak bisa menutup beban perseroan yang melonjak ke 3,79 miliar dolar AS dari semulanya 3,73 miliar dolar AS pada sepanjang 2015.
Tak salah publik bertanya-tanya, pemborosan apa yang sudah diperbuat sang garuda? Soal itu, yang paling mudah diiingat adalah potensi pemborosan Garuda dari rencana pembelian 30 unit Airbus A350.
Rencana pembelian itu menjadi ramai karena ada satu orang yang bersuara lantang menentangnya. Namanya Rizal Ramli. Kritiknya terhadap pembelian 30 unit pesawat badan lebar itu ia lontarkan satu hari setelah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya.
Isu inefisiensi Garuda menjadi "kepretan" pertama yang Rizal lancarkan dari dalam pemerintahan Jokowi. Rizal berpendapat, rute internasional tidak akan menjadi ladang untung bagi Garuda Indonesia. Contohnya, Singapore Airlines, yang punya kinerja keuangan kurang baik. Rizal menyebut, rute ke Amerika dan Eropa akan membuat maskapai Garuda merugi karena tingkat keterisian penumpangnya hanya 30 persen, jauh lebih kecil dari penerbangan domestik dan regional Asia. Rizal kala itu menyarankan Garuda lebih dulu memperkuat cengkeramannya di pasar regional selama lima sampai tujuh tahun ke depan.
Kepretan itu mendapat sambutan panas dingin dari rekan-rekan Rizal di dalam kabinet. Terutama dari Menteri BUMN, Rini Soemarno. Alasannya sepele, Rizal dianggap tidak berhak mencampuri urusan Garuda yang notabene di bawah koordinasinya. Bukan substansi kritik yang dipersoalkan Rini, melainkan kewenangan. Serangan ke Rizal juga datang dari Teten Masduki yang masih menjabat di Tim Komunikasi Presiden. Teten mengklaim, presiden sendiri yang menegur Rizal Ramli hanya karena tidak menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintah secara internal.
Kritik Rizal soal pemborosan Garuda Indonesia menjadi kenyataan di waktu sekarang. Sebelum kabar laba anjlok mengemuka hari ini, Januari lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mewanti-wanti Direksi Garuda Indonesia untuk tidak bermain-main dengan rencana pengembangan armada pesawat.
BPK mengingatkan agar Garuda tidak mengulang kesalahan pembelian pesawat sehingga menghasilkan pemborosan hingga US$ 94 juta per unit. Ultimatum ini datang berdasarkan hasil audit laporan keuangan Garuda Indonesia dalam kurun waktu 2011-2015. Beberapa poinnya sudah disampaikan BPK ke Direksi Garuda saat itu.
Berangkat dari kasus ini, dapat disimpulkan bahwa adalah lebih baik jika para menteri memiliki sikap mental yang lebih terbuka kepada masukan dan kritik, tanpa pandang siapa yang melontarkan masukan dan kritik itu. Sudah saatnya BUMN dikelola dengan profesional oleh orang yang juga profesional, bersih dan terbuka terhadap masukan. Bukan cuma bisa mempersoalkan batas wewenang dan hal remeh temeh yang tak substansial.
Kepretan pertama Rizal Ramli dapat kita jadikan pelajaran. (rm)