IDNUSA - Adik ipar Presiden Jokowi, Arif Budi Sulistyo, kemarin, jadi saksi di persidangan kasus dugaan suap pajak PT EKP (Eka Prima Ekspor) Indonesia. Dicecar hakim dan jaksa, Arif yang kerap pakai jurus lupa sempat gelagapan saat memberikan jawaban. Selama persidangan, tak ada satu kalimat pun dia menjual-jual nama Jokowi, namun dia memang mengakui ikut membantu proses tax amnesty bos PT EKP Rajamohanan Nair, yang sekarang jadi terdakwa kasus suap.
Dalam persidangan yang dibuka Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butar-Butar pukul 11.30 WIB itu, Arif duduk di kursi saksi, sendirian. Di awal persidangan, dia lancar menjawab pertanyaan majelis hakim soal tugas pokok dan fungsinya di kantor PT Rakabu Sejahtera.
PT Rakabu Sejahtera adalah perusahaan gabungan antara perusahaan Jokowi (PT Rakabu) dengan perusahaan Luhut Panjaitan (PT Toba Sejahtera). Di perusahaan yang bergerak di usaha mebel ini, Arif menjabat Direktur Operasional.
Secara rinci dan tenang dia merinci kegiatan sehari-harinya di perusahaan tersebut. Namun, ketika JPU yang dipimpin Jaksa Ali Fikri mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, Arif lebih banyak diam. Misalnya, saat ditanya hubungannya dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv. "Saya tidak begitu kenal," ungkap Arif. "Kapan tepatnya mengenal Haniv?" tanya jaksa. "Saya lupa," jawab Arif.
Arif mengaku tahu soal Haniv dari Direktur PT Bangun Bejana Baja, Rudi Prijambodo. Namun, dia lupa apakah pernah melakukan pertemuan dengan Haniv atau tidak. Begitu juga saat disinggung apakah pernah berkomunikasi dengan Haniv atau tidak. "Lupa, seingat saya tidak pernah komunikasi dengan Haniv," ujar dia. Haniv sendiri dalam kesaksian persidangan sebelumnya mengaku berteman dengan Arif. Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa KPK, Arif meminta Haniv bertemu dengan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi. Permintaan itu disampaikan Haniv kepada Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Ditjen Pajak Handang Soekarno. Handang kemudian mengabulkan permintaan Arif. "Pernah mengontak Pak Haniv minta dipertemukan dengan Pak Dirjen (Ken Dwijugiasteadi)?" jaksa mengkonfirmasi ke Arif. "Seingat saya, saya belum pernah komunikasi dengan Pak Haniv," jawab Arif.
Namun, Arif tak menampik ada pertemuan dengan Dirjen Pajak. Pertemuan itu berlangsung sekitar September 2016 di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Namun, lagi-lagi Arief mengaku lupa detail pertemuan yang juga turut dihadiri pengusaha Rudi Prijambodo itu. "Tanggal 23 (September 2016) itu pagi saksi ke Gedung Ditjen Pajak jam berapa?" tanya jaksa KPK kepada Arif. "Tepatnya saya lupa Pak," jawab Arif lagi.
Arif diduga bertemu dengan dirjen pajak untuk membicarakan masalah pajak PT EKP. Arif terdiam agak lama. Setelah itu baru dia menjawab, gelagapan. Menurut Arif, pertemuan itu membahas masalah tax amnesty perusahaannya. "Saya tanyakan Pak Ken, apa saja (syarat) tax Amnesty, disarankan Pak Ken, 'ngapain ngurus di Jakarta, di Solo saja'," beber Arif.
Menurut Arif, pertemuan dengan Ken di Lantai V Gedung Ditjen Pajak itu juga dihadiri Handang. Ken kemudian memerintahkan Handang untuk membantu penyelesaian tax amnesty PT Rakabu Sejahtera. "Pak Dirjen bilang lebih baik diselesaikan di Solo, nanti akan dibantu Pak Handang," ulang Arif. Setelah itu Handang bertolak ke Solo demi titah Ken tersebut. Dia datang ke rumah Arif. "Ngecek berkas, kurang lebih di rumah saya 10 menitan setelah itu dibawa semua isinya, dibilang komplit, langsung diurus di solo," ujar Arif.
Jaksa bertanya, kenapa untuk menanyakan tax amnesty saja dia tak menyuruh staf untuk ke kantor pajak terdekat. Apa jawab Arif? "Waktu itu saya ingin dapat keterangan langsung dari Dirjen biar lebih puas," elaknya. Kebetulan juga, saat itu dia tengah berada di Jakarta. Padahal, untuk diketahui, dalam surat dakwaan Rajamohan, Arif diminta bantuan oleh Rajamohanan untuk menyelesaikan persoalan pajak yang dihadapi PT EKP di tingkat Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Enam. Tak lama setelah pertemuan Arif dan Dirjen Pajak, Kepala KPP PMA Enam Johnny Sirait membatalkan surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) PT EKP.
Tak percaya begitu saja, Jaksa kemudian memutar rekaman sadapan antara dirinya dengan Rajamohan. Mendengarnya, Arif kembali terdiam. Setelah terlihat berpikir, dia bersikukuh tak mengetahui masalah pajak Rp 78,8 miliar yang tengah dihadapi PT EKP. Dia baru tahu setelah berita tangkap tangan Rajamohan oleh penyidik KPK ramai diberitakan.
Arif mengaku hanya mengetahui Rajamohan ingin ikut tax amnesty, namun terkendala. Karena itu dia hendak membantunya. Ditanya siapa yang hambat tax amnesty itu, Arif terdiam. Dia tak tahu. "Saya tidak tanya sedetail itu," seloroh Arif.
Hakim mengingatkan Arif untuk mengingat-ingat lagi sebelum menjawab, sebab dalam kesaksian sidang sebelumnya terkuak adanya permintaan Rajamohan agar Arif membantu urus pajak EKP ini melalui Dirjen Pajak. Dia mengaku Rajamohanan memintanya untuk menghubungi Ken, namun tidak ditindaklanjutinya.
Arif pun bersikukuh pada jawabannya. "Benar Pak, itu terkait tax amnesty," tegasnya. Jaksa kemudian menanyakan Arif kenapa mengirimkan beberapa dokumen PT EKP kepada Handang Soekarno lewat WhatsApp pada 3 Oktober, Arif kembali terdiam. Jaksa mengulang pertanyaan. Arief pun menjawab dengan gelagapan. "Kebetulan saat saya ketemu (Handang) di kantor Pak Dirjen, di situ saya sampaikan ada temen juga mau urus tax amnesty tapi merasa dihambat. Tolong pak Handang bantu," ungkapnya. Dia pun memberi nomor Handang ke Rajamohan. "Akan lebih baik kalau Pak Mohan segera mengirimkan data perusahaannya," lanjut Arif yang membeberkan alasan meneruskan dokumen PT EKP kepada Handang melalui aplikasi WhatsApp.
Arif bersaksi selama sekitar 3 jam. Setelah itu, giliran Handang, Kabid Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan Kanwil DJP Jawa Timur I Yustinus Herri Sulistyo, serta ajudan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, Gondres Andreas yang memberi kesaksian.
Sekadar latar, Rajamohan didakwa menyuap Handang sebesar Rp 1,9 miliar. Suap itu diduga diberikan agar Handang membantu menyelesaikan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP. (rm)