IDNUSA, JAKARTA - Negosiasi pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport Indonesia mulai mencapai titik temu. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, perusahaan asal Amerika Serikat ini telah bersedia mengubah kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Izin tersebut akan mulai aktif bulan April depan. "Freeport sepakat berubah ke IUPK," kata dia di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (30/3).
Freeport nantinya juga akan mendapatkan masa uji coba IUPK selama enam bulan. Jika selama jangka waktu itu Freeport tidak ingin melanjutkan IUPK, bisa kembali menjadi kontrak karya (KK). Namun, jika statusnya KK maka Freeport harus terlebih dulu menyelesaikan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) agar dapat ekspor mineral.
Sedangkan Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M. Djuraid mengatakan, dengan aktifnya izin usaha pertambangan khusus ini, Freeport akan mendapatkan restu ekspor konsentrat dari pemerintah dalam waktu dekat, dengan wajib membayar bea keluar. "Namun kalau enam bulan ke depan mereka merasa lebih baik dengan KK, mereka tidak bisa ekspor," katanya.
Selain menyetujui perubahan kontrak karya menjadi IUPK, Freeport juga menerima pengurangan luas wilayah tambangnya. Luas wilayah operasi yang tadinya 2,6 juta menciut jadi sekitar 2.000 hektare.
Namun, sampai saat ini masih ada beberapa poin yang belum disepakati Freeport. Pertama, kewajiban divestasi saham sebesar 51 persen. Kedua, masalah sistem perpajakan.
Freeport menginginkan pajaknya menggunakan sistem pajak tetap (naildown). Artinya kalau ada perundangan yang baru, Freeport tidak perlu mengikutinya. Sebaliknya, pemerintah menginginkan (prevailing). Jadi setiap ada perubahan, harus mengikuti.
Padahal, menurut Jonan, dengan mengikuti skema prevailing maka tarif pajak untuk Freeport bisa lebih rendah dibandingkan yang ada dalam kontrak karya. Namun, dia memaklumi adanya kekhawatiran Freeport mengenai perubahan pungutan pajak, seperti retribusi daerah atas permukaan air sungai yang ada dalam peraturan daerah.
Untuk itu, permasalahan pajak ini nantinya akan dibahas bersama Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah. "Kami ajak Pemerintah provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika untuk ikut berunding dalam proses penetapan syarat-syarat keuangan, fiskal di IUPK," kata dia.
Awalnya pemerintah dan Freeport sepakat bernegosiasi selama enam bulan sejak awal Februari lalu. Namun, menurut Jonan, Freeport meminta tambahan waktu menjadi delapan bulan. (kd)