logo
×

Kamis, 23 Maret 2017

Ancaman Penyidik KPK Bikin Saksi Rasywah e-KTP Muntah

Ancaman Penyidik KPK Bikin Saksi Rasywah e-KTP Muntah

IDNUSA, JAKARTA - Mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Hariyani menangis di persidangan perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/3).

Politikus Partai Hanura ini tidak kuasa menahan air matanya ketika bersaksi pada persidangan atas dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto yang menjadi terdakwa perkara e-KTP.

Pada persidangan itu, majelis hakim yang dipimpin John Halasan Butarbutar mencecar Miryam perihal keterangan dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) yang sudah ditandatanganinya. Sebab, Miryam dalam kesaksiannya di persidangan justru mencabut keterangannya yang tertuang di BAP.

Namun, hakim mengingatkan bahwa BAP sudah ditandatangani, yang berarti Miryam menyetujui keterangannya di depan penyidik. Menurut Miryam, dirinya tidak pernah diminta Chairuman Harahap selaku ketua Komisi II DPR pada 2010 untuk menerima sesuatu dari pihak ketiga terkait e-KTP.

Miryam pun membantah tudingan yang menyebutnya menerima rasywah sekitar Rp 50 juta sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas Irman dan Sugiharto. "Tidak pernah," kata Miryam menjawab hakim di persidangan.

"Kok saudara tidak mengakui?" tanya anggota majelis hakim Franky Tambuwun.

Miryam lantas mengaku ditekan oleh penyidik yang memeriksanya. "Saya diancam, pak, sama penyidik tiga orang pakai kata-kata," kata Miryam sembari mulai menangis.

Miryam menyebut dua dari tiga penyidik itu adalah Novel Baswedan dan Ambarita Damanik. Namun, Miryam tak mengingat nama satu penyidik lainnya.

"Jadi waktu dipanggil ada tiga orang, Novel, satu saya lupa, Damanik. Waktu saya baru duduk dia (salah satu penyidik) sudah ngomong, 'ibu mestinya 2010 sudah saya tangkap'. Habis itu saya ditekan-tekan lagi," kata Miryam sembari menangis di hadapan majelis hakim.

Miryam menambahkan, keterangannya dalam BAP soal penerimaan dan pembagian uang tidak benar. Menurut Miryam, dirinya saat itu tertekan dan hanya untuk menyenangkan penyidik.

"Untuk menyenangkan mereka, saya jawab. Karena saat itu saya takut," klaim Miryam.

Bahkan, Miryam mengaku semakin takut ketika penyidik mengaku pernah memeriksa Aziz Syamsudin dan Bambang Soesatyo dalam kasus korupsi di Korlantas Polri. Aziz dan Bambang merupakan politikus Partai Golkar yang dikenal vokal di Komisi III DPR.

”Saya pernah panggil Aziz Syamsudin dan Bambang Soesatyo, saya periksa mereka sampai mencret-mencret,” kata Miryam menirukan pernyataan salah seorang penyidik.

Hal itu membuat Miryam semakin ciut nyali. “Karena saya takut dan biar cepat keluar dari ruangan itu, saya jawab asal saja," katanya.

Hakim lantas menanyakan apakah Miryam saat diperiksa penyidik juga menangis seperti di persidangan ini. Seketika Miryam langsung menimpali pertanyaan hakim.

"Saya sampai muntah, pak. Saya nangis di kamar mandi. Saya tertekan sekali karena penyidik bertanya agak mengancam," ungkap Miryam.

Hakim pun heran dengan jawaban Miryam. Sebab, hakim merasa ragu ada penyidik KPK memperlakukan anggota DPR seperti itu.

"Sebagai anggota dewan, apa iya anda diperlakukan seperti itu?" kata hakim kepada Miryam.

Hakim mengingatkan Miryam untuk memberikan keterangan yang jujur. "Berilah keterangan yang benar karena kita ini mencari kebenaran materil," katanya.

Hakim lantas mengingatkan ancaman memberikan keterangan palsu di persidangan yang bisa diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara. Namun, Miryam tetap pada pendiriannya.

Dia menegaskan, keterangannya di dalam BAP tidak benar. Oleh karena itu, Miryam mencabut BAP tersebut.

"Tidak benar. Saya minta dicabut karena dalam situasi tertekan," jelasnya.

Ketua Majelis Hakim John Halasan Butarbutar memerintahkan menghadirkan saksi verbalisan atau penyidik yang disebut Miryam. Jaksa KPK,  pengacara Sugiharto dan Irman pun menyetujuinya. (jpg)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: