
[by: Fajri Muhammadin]
Walaupun bukan ahli bahasa, tapi sebagai seseorang yang berpengalaman berbicara bahasa Indonesia sejak tahun 1994, ketika ada yang mengatakan:
“Ya akhi, ente ga tau perbedaan ‘Dikejar Kuda’ dan ‘Dikejar pake Kuda’?”
Jawaban saya adalah:
“Kalau ‘dikejar Kuda’, yang mengejar adalah Kuda. Kalau ‘dikejar pake Kuda’, yang mengejar adalah Kuda dan pengendaranya.”
Tapi ‘syubhat’ bisa diutik dengan alasan konteks tersirat, misalnya “dibohongi pake cinta“. Jika asumsinya “Cinta nggak akan bohong“, maka makna kata “cinta” tadi maksudnya adalah “dengan berkedok cinta” atau sejenisnya untuk membohongi.
Syubhat serupa dalam kasus Ahok ini adalah: Kan yang dikritik “itu maksud penafsirannya (di negara demokrasi), bukan Al-Qur’annya”
Tapi ini tidak pas…
Pertama, silahkan merenungkan beda makna antara “menafsirkan begitu adalah keliru” dengan “menafsirkan begitu adalah bohong“.
Kekeliruan bukanlah sesuatu yang hakikatnya jahat, tetapi kebohongan hakikatnya adalah jahat. Si penafsir dianggap jahat.
Kedua, kalimat “dibohongin pake Al Maidah ayat 51” itu menuduh bohong (bukan menuduh keliru) pada seluruh ulama -yang menurut hadits sahih adalah penerus Rasulullah-, dari zaman Sahabat hingga sekarang. Lebih beratnya lagi nyalahin Allah, karena penafsiran yang dilakukan banyak ulama didasarkan analisis linguistik, alias kata-kata gamblang yang ada dalam Al-Maidah 51.
Ketiga, terpenting nih, yang dikatakan sebagai bohong oleh si Anu itu adalah perkara syariat, yaitu “larangan mengangkat pemimpin kafir”. Mau dengan bahasa apapun, aturan syariat itu intinya dibilang kebohongan. Padahal ini adalah salah satu bagian syariat, aturan Islam yang mencakup fiqih (pengangkatan pemimpin) hingga perkara aqidah (larangan tawali dengan orang kafir). Bagi yang masih gagap agama, Tawali itu artinya memberi loyalitas.
Respon Umat Lebay?
Sebagian pembela si Anu membawa soalan “khilafiyah ijtihadiyah” terkait Al-Maidah 51, tak ada tafsiran yang pasti benar katanya. Tapi kalangan HAM paling fanatik pun tidak akan menerima “HAM” versi Rusia atau Korea Utara sebagai “khilafiyah ijtihadiyah”, siape elu?
Jangan bilang ini tidak apple to apple, sebab “Korut dan Rusia kan melakukan kedzoliman yang konkrit” pasti ditendang HAM. Meski di sini mas HAM sebatas masalah muamalah saja, sedangkan Islam mencakup aqidah (pokok ideologi).
Misalnya lagi nih, ada Neo-Komunis bilang: “Jangan mau dibohongin pake TAP MPRS dan Pancasila”
Alasannya, yang dilarang itu Komunisme PKI palu arit, Leninisme dan Marxisme. Dia mengklaim, ideologinya ga masuk definisi di TAP MPRS dan bertentangan dengan Pancasila. Karena si Neo-Komunis ini lambang partainya cangkul China dan pisau dapur yang telah “Berketuhanan”. Bahkan kata dia lagi, yang penting adalah hancurin kapitalis dengan mewujudkan keadilan ekonomi lewat 1 partai.
Karena itulah, dia mengkritik penggunaan TAP MPRS dan Pancasila untuk menolak Neo-Komunis.
Apakah klaim ini lantas jadi “khilafiyah ijtihadiyah” yang diakui Mahkamah Konstitusi?
Hanya Ulama Suu (bejat) yang mengatakan masalah loyalitas kepemimpinan adalah khilafiyah ijtihadiyah. Terlebih lagi, kalaupun ini khilafiyah, ya harusnya yang berkata demikian justru bertoleransi kepada umat Islam yang tersinggung.
Hanya ahli hukum liberal tidak waras yang mengatakan tafsiran si Neo Komunis sebagai “khilafiyah” berdalih kebebasan berekspresi.
Lanjut..
Tapi ada yang berkata “Yang demo berlebihan, memang Ahok agak kurang pantas ucapannya tapi merespon dengan demonstrasi adalah overreacting.” Apakah demikian?
Saya katakan tidak.
Pertama, ada sebuah alasan penting kenapa hanya korban yang boleh lapor pada pasal pasal penghinaan atau pencemaran nama baik adalah bersifat delik aduan i.e. Pasal 310-321 KUHP dan Pasal 27[3] UU ITE sebagaimana dijelaskan oleh MK. Korbanlah yang lebih berhak menilai apakah sesuatu itu menghina atau tidak, terlepas dari penilaian orang lain.
Penghinaan bukanlah perkara empiris layaknya laba-rugi atau hidup mati atau lapar haus melainkan soalan imateril yang merupakan salah satu ciri khas manusia yang memiliki hati. Ingatlah “jika aku ada di posisimu” tidak dapat digunakan di semua situasi karena seringkali “…tapi aku bukan kamu dan kamu bukan aku”.
Karena itu, relativisme dalam hal ini bisa jadi adalah hal yang sewajarnya terjadi. Bukan pada tempatnya orang menyalahkan ketersinggungan orang lain dan hukum mengakomodasi itu.
Kedua, juga ada perbedaan titik toleransi. Bayangkan jika anda melihat seorang perempuan diteriaki “dasar!”. Bagaimana reaksi anda? Tentu agak sulit menjawab pertanyaan ini tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana kalau ditambah “Dasar perempuan!”? Atau mungkin “Dasar jelek!”? Atau “Dasar wanita rendah!” Atau mungkin “dasar pelacur!”?
Kalau perempuan tersebut tidak anda kenal, dan berpakaian biasa saja, bagaimana? Kalau perempuan tersebut memang pelacur, bagaimana? Kalau perempuan tersebut teman anda tapi tidak terlalu kenal, bagaimana? Kalau perempuan tersebut adalah sahabat anda, bagaimana? Kalau perempuan tersebut adalah istri anda, bagaimana? Kalau perempuan tersebut adalah ibu anda, bagaimana?
Mungkin, orang yang berbeda akan mulai merasa ikut tersinggung pada kombinasi titik yang berbeda-beda, betul?
Okelah, saya terima bahwa hinaan Ahok mungkin tidak sebrutal hinaan Syi’ah kepada Ummul Mu’miniin.
Tapi bagaimana kalau anda saya tampar, lalu saya bilang “jangan marah, daripada saya pukul 10x lho ini kan cuma sekali”? Selalu ada hinaan yang lebih parah dari yang lainnya. prinsipnya adalah hinaan.
Makin parah hinaannya makin besar kemungkinan tersinggungnya, dan makin tinggi ghirah dan kecintaan kita pada sesuatu makin besar juga kemungkinan tersinggungnya. Jadi kalau ada sampai tidak tersinggung dengan statement Ahok, simpel saja bahwa ghirah dan kecintaan anda pada Islam lebih rendah dibandingkan para demonstran.
Bisa saja ada yang tersinggung malah dengan kesimpulan saya barusan. Maknanya simpel saja, berarti dia mencintai dirinya lebih daripada Islam. Macam Nusron Wahid yang terus membela Ahok, tapi ketika disebut Nusron Purnomo langsung marah.
Biasa kok, orang kan bisa punya kecintaan pada hal yang beda-beda. Ada yang punya kecintaan pada tim sepakbola, ada yang pada negara, ada yang pada dirinya, dan lain sebagainya dan bisa saja lebih dari satu. Tulisan ini tidak bertujuan menghina orang yang “mencintai Islam lebih rendah daripada para demonstran”, hanya menunjukkan saja bahwa ini fenomenanya.
Jangan salahkan kami kalau kami mencintai dien kami.
Penutup
Jika ada seseorang yang mengaku merasa seseorang harusnya tidak perlu tersinggung (dengan alasan apapun) dan tidak bisa menyebutkan SEPULUH RIBU saja orang yang ia ketahui juga tidak tersinggung. Dia tidak boleh lupa bahwa ada massa yang turun ke jalan diperkirakan sampai DUA JUTA dan belum lagi sekian juta atau bahkan PULUHAN JUTA yang tidak ikut turun ke jalan tapi memberikan doa dan dukungan. Ini termasuk sebagian kalangan yang mengharamkan demonstrasi, tapi mereka pun menganggap hal ini adalah penistaan. Siapa dia merasa bisa menilai bahwa yang berjuta-juta ini adalah salah?
Tidak bisa argumen “kebenaran adalah kebenaran, walaupun semua orang menolaknya” dipakai, karena perkara ketersinggungan bukanlah soal benar-salah melainkan soal rasa.
Syariat Islam menetapkan bahwa pengolok-olok agama adalah murtad (jika dia Muslim) dan hukumannya adalah mati. Sadar kok bahwa Indonesia bukan negara Islam makanya yang dituntut demonstran bukan bunuh melainkan proses hukum sesuai hukum apa yang berlaku di Indonesia. Terlebih lagi, pengajuan tuntutan ini adalah dengan demonstrasi yang sudah terlebih dahulu dimintakan izin kepada aparat yang berwenang, dan berjalan dengan damai dan tertib.
Masa iya berlebihan?
__
Sumber: http://lesehan.co/dikejar-kuda-ahk-yang-pakai-dibohongin/ (pp)