Nusanews.com - Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta akan melayangkan gugatan lain terkait megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta. Selain mengkaji putusan banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang memenangkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), upaya hukum lain juga dilakukan.
“Kami masih melakukan kajian untuk melakukan upaya hukum lain. Kami akan melaporkan adanya dugaan kerusakan dan pencemaran wilayah sumber daya ikan di Teluk Jakarta dengan Undang-Undang Perikanan,” tegas aktifis Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (21/10).
Jumpa pers yang digelar di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dihadiri beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Diantaranya Tigor Hutapea dari LBH Jakarta, Farid Ridwanuddin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Denny Yusuf dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan Rayhan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Disampaikan Martin, Koalisi juga akan melaporkan dugaan tindak pidana tata ruang terkait reklamasi Pulau C dan D. Proyek dua pulau yang ternyata digabung menjadi satu dan itu bertentangan dengan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang.
“Pidana ini tidak hanya menyangkut pihak pengembang atau pelaksana proyek, tapi juga pejabat yang memberikan izin, siapa itu? Tentu pihak eksekutif. Kita akan laporkan eksekutif, pengembang, termasuk kontraktor Pulau C dan Pulau D karena menyalahi ketentuan tara ruang,” jelasnya.
Temuan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, kata Martin sangat substantif keterkaitannya dengan proyek reklamasi. Dimana ada pelanggaran lingkungan hidup yang dilakukan pengembang dan pelanggaran pihak eksekutif yang memberikan ijin.
Misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Surat Keputusan penghentian reklamasi di beberapa pulau, masing-masing Pulau C, Pulau D dan Pulau G serta Pulau N.
Selanjutnya, megaproyek reklamasi juga berselimutkan tindak pidana korupsi. Sebab sejak awal Ahok tidak pernah terbuka kepada publik. Dicontohkan bagaimana soal penguasaan konsesi reklamasi, kemudian soal pemegang izin reklamasi serta proses penunjukan pengembang reklamasi.
“Itu tidak pernah ada. Kami menduga ada proses korupsi dalam proses penunjukan, penguasaan konsesi reklamasi, kemudian juga korupsi soal Raperda reklamasi, sehingga seharusnya reklamasi tidak bisa dilanjutkan,” kata Martin.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tambah dia, juga pernah menyampaikan adanya pelanggaran pidana namun hingga saat ini belum pernah ada tindaklanjut secara serius. Dimana wilayah Teluk Jakarta masuk mengganggu kegiatan perikanan nelayan.
“Ketika wilayah perikanan dirusak sama saja melanggar hukum dalam konsteks Undang-Undang Perikanan, jadi di dalam Undang-Undang Perikanan ada Pasal 86 terkait dengan pidana perikanan,” urai Martin.
Disebutkan bahwa ‘Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00’. (akt)