Nusanews.com - Menjelang Pilkada serentak Februari 2017, berbagai kalangan mengkhawatirkan terjadinya kampanye hitam (black campagne), fitnah, menghasut, SARA, dan penyebaran kebencian untuk menyudutkan calon tertentu.
Karena itu DPR RI meminta aparat penegak hukum, khususnya aparat Kepolisian bertindak tegas terhadap siapapun yang melanggar.
"Jangan sampai ada pasal-pasal karet, sehingga polisi tidak bisa bertindak tegas. Sebab, dengan bertindak tegas itu akan mampu meminimalisir konflik sosial dan keresahan masyarakat. Seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dan daerah lain," tegas anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, dalam Dialektika Demokrasi "Ancaman Pidana Dalam Media Sosial Jelang Pilkada Serentak 2017" di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (29/9).
Sementara pengamat politik, M Qodari mengakui saat ini terjadi lonjakan medsos yang luar biasa dan pengaruhnya luas. Bahkan media konvensional (koran dan online) kalah pengaruh. Sebutlah Triomacan, Lambeturah, Piyungan dan lain-lain. Padahal semuanya tidak jelas. "Jadi, medsos itu asosial-anti sosial. Saya khawatir dalam Pilkada 2017 ini terulang lagi," ungkapnya.
Karena itu Qodari meminta Polri melakukan antisipasi, simulasi, dan prosedur medsos secara dini serta bagaimana kinerjanya, mengingat ‘cyber patrol’ itu bekerja selama 24 jam.
"Itu penting. Karena Jakarta ini sebagai barometer bagi kelangsungan kebangsaan dan keadaban demokrasi nasional. Apalagi baru kali ini, Pilkada DKI Jakarta, dengan Cagub dengan latarbelakang yang berbeda," tuturnya.
Dengan demikian, menurut Qodari, Polri jangan sampai terlalu longgar agar kasus Tanjung Balai, tidak terjadi di Jakarta, sebagai ibu kota negara.
"Jadi, harus ada persiapan yang matang Polri dalam mengawasi medsos tersebut, karena jumlahnya sangat besar, dan taruhannya bangsa Indonesia. Kalau sampai rusuh, mau ditaruk dimana muka bangsa ini?" katanya khawatir. (rmol)