Nusanews.com - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan penafsiran terhadap pasal 70 ayat 3 huruf a tentang UU Pilkada yang diajukan pemohon Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok) melanggar UUD 1945.
Untuk itu, Yusril meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh argumentasi Ahok dalam gugatan uji materi pasal UU Pilkada terkait aturan cuti kampanye itu.
"Pada hemat saya, UU yang dimohonkan, tidaklah perlu penafsiran. Karena bunyinya sangat jelas, di mana gubernur/wagub, bupati/wabup, dan walikota/wawal, yang mencalonkan kembali pada daerah sama, selama masa kampanye, harus memenuhi ketentuan, a. harus menjalankan cuti di luar tanggungan negara," kata Yusril, dalam kesaksiannya di persidangan MK, hari ini.
Yusril pun sempat menjabarkan tentang hukum fiqih Islam kepada hakim konstitusi. Menurut dia, kata 'harus' yang tercantum dalam pasal tersebut yang digugat berbeda dengan pengertian dalam hukum fiqih Islam, seperti argumen yang disampaikan Ahok.
"Kata harus dalam kalimat tersebut, berbeda dalam hukum fiqih. yang merupakan terjemahan dari kata mubah atau jais, dalam bahasa Arab yang bermakna netral. Jika dikerjakan mendapat pahala jika tidak, tak dapat dosa. Dalam perumusan hukum Indonesia, kata harus adalah kata yang sama dengan artinya kata wajib. Kata wajib dalam hukum fiqih artinya suruhan mendapat pahala jika mendapat pekerjaan, tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa," papar Ketum PBB yang juga berencana maju dalam Pilgub DKI 2017 itu.
Menurut Yusril, makna harus dan wajib dalam pasal UU Pilkada itu bersifat imperatif, yakni sesuatu yang harus dikerjakan. "Jika tidak dikerjakan akan melanggar sanksi, meski UU bisa saja tidak menyebut sanksi apapun kepada petahana yang melanggar."
Untuk itu, Yusril menyarankan KPU dapat saja menerbitkan peraturan pelaksana, jika petahana tidak bersedia melakukan cuti, maka calon petanaha itu tidak memenuhi syarat jadi peserta dalam pilkada.
"Pemberian sanksi seperti itu dalam hukum fiqih, digolongkan sebagai tadzir, yakni ada norma dalam quran dan hadits yang mengharamkan sesuatu, tapi tidak menyebutkan apa sanksi bagi orang yang melanggarnya," tandas Yusril. (rn)