logo
×

Jumat, 30 September 2016

Kemana Ahok Setelah Keok?

Kemana Ahok Setelah Keok?

 Oleh: Rudi Agung *)

Dimatikan mesin motornya. Bola matanya menatap kerumunan orang di sekitarnya. Lalu fokus pada pria berkemeja merah yang memegang micropon. Kerumunan orang-orang menyimak serius pidato pria berkemeja merah, itu. Pak Tono penasaran. Ia merangsek ke kerumunan.

Sang pria berkemeja merah, berpidato: Tahun 2012, jelang Pilgub Jakarta, sejumlah ulama mewanti-wanti umat dan warga Ibu Kota agar tidak memilih pasangan Jokowi-Ahok. Sebab, sudah rahasia umum, rencana mereka ke depan adalah Jokowi mengejar RI 1 dan Ahok dapat warisan di DKI 1. Ini mengancam kebijakan yang bersinggungan dengan umat Muslim dan warga DKI.

Sampai-sampai sekelas Hidayat Nur Wahid turun tahta ke medan pertempuran Pilgub. Saat itu, ia berpasangan dengan Prof Didik J Rachbini. Tetapi pasangan itu keok! Di putaran dua akhirnya dimenangkan Jokowi-Ahok. Suara ulama kalah dengan citra media dan pemain angka (survei).

Sekjen MIUMI, Ustadz Bachtiar Nashir, melalui sambungan telepon ketika itu mewanti-wanti: umat harus punya early warning system. Bukan lantaran Jokowi Ahok, tetapi gerbong belakangnya. Menjelang Pilpres 2014, ulama-ulama makin banyak yang turun gunung.

Bahkan, ulama yang jauh dari ingar bingar politik ikut me-warning umat dan masyarakat. Begitu pula ulama-ulama yang hanya konsen mendidik di kampung-kampung, yang jauh dari sorot kamera media. Apalagi dari kepopuleran dan kemewahan. Tetapi, sekali lagi, umat dan ulama kalah dengan media.

Melanggenglah Jokowi-Ahok menuju kursi kekuasaan, masing-masing menduduki kursi RI dan Ibu Kota, sampai hari ini. Benarlah apa yang diingatkan dan disampaikan para ulama sejak 2012 lalu. Kini warga DKI dan masyarakat Indonesia, merasakan kegetiran kepemimpinan mereka berdua. Bahkan, anak-anak bangsa dipecah, diadu domba, terpolarisasi sampai kini meski pilpres sudah usai.

Belakangan, eouforia warga Jakarta dan umat membuncah saat dimunculkan Risalah Istiqlal. Ini titik balik persatuan umat dan rakyat. Begitu analisis yang berkembang. Dan… euforia itu dibalas dengan super duper kekecewaan. Head to head untuk kemenangan pribumi secara telak, batal. Kekecewaan berlipat muncul karena kandidat yang dimajukan mengundang gelak tawa.

Demikian ombak netizen. Ombak kekecewaan menggelinding dan berubah menjadi polarisasi yang terus dipelihara, bahkan ditingkatkan. Di sini pun akhirnya terpetakan: siapa yang fanatisme buta pada tokoh dan parpol, siapa murni menginginkan perubahan dan keberpihakan ke masyarakat. Padahal tiga kandidat pasangan Pilgub DKI 2017 sama saja. La wong bukan suara warga dan ulama. Kita lihat:

Agus anak dari guru pencitraan Indonesia, punya basis keluarga TNI dan investasi loyalis Cikeas 10 tahun. Ibu Sylvi warga Betawi asli, mantan None Jakarta 1981, anak kolonel, dan punya basis guru saat menjabat sebagai kepala dinas pendidikan dasar. Basis lain saat jadi wali kota wanita pertama di Jakarta. Basis Betawi bisa lari ke Ibu Sylvi. Tetapi, banyak yang meragukan Agus. Nah kelak: framing citra, pesona, terdzalimi akan kita saksikan di media. Sekarang saja gemanya sudah mulai terasa.

Anies peserta konvensi capres Demokrat. Dekat dengan SBY sejak sebelum ikut konvensi. Jelang Pilpres 2014, mengkritik blusukan Jokowi. Tetapi ia jadi timses Jokowi, menghina Prabowo dan pasangannya, lalu jadi menteri. Ditendang dalam reshuffle, lantas jadi cagub DKI. Kalau begitu, entah apa makna amanah sekarang. Tetapi ia punya basis massa akademisi, kalangan middle up.

Sandiaga, apapun pembelaannya, ia tercatat di list konsorsium jurnalis investigasi internasional ICIJ dalam daftar Panama Papers dan offshoreleaks. Tapi punya basis massa ibu-ibu dan pengusaha. Basis pasangan ini ditambah kader parpol pendukung yang sami’na wa atho’na pada pemimpin, meski harus (maaf) mudah sekali menggunakan dalil-dalil. Padahal, kemuliaan satu ayat, tidak sebanding hanya untuk dunia dan isinya. Terlebih sekadar untuk politik, untuk membela pujaan politiknya. Masya Allah.

Please, hentikan gunakan dalil untuk kepentingan suara. Apapun dalihnya! Jangan gunakan dalil A, tetapi membuang dalil B. Menggunakan sekadar memungut kepentingannya. Toh di parlemen ompong. Toh faktanya umat dan rakyat selalu saja menjadi korban. Agama itu akhlak, bukan banyaknya menghafal dalil, tetapi praktiknya. Bukan mengobralnya. Begitu ulama-ulama terdahulu mengajarkan kita.

Lalu, hentikan kepongahan Ahok, tak harus Pilgub. Untuk apa parlemen? Kemana teriakan hak intreplasi yang dulu mengaum? Mainan? Kalian lebih tahu. Kalau dugaan kasus taman BMW, Transjakarta, sumber waras, reklamasi, dan lain-lain: bisa lolos hukum, kalian lebih tahu siapa di belakangnya.

Tetapi sebelum bertanding, masyarakat dan umat sudah terpecah belah (lagi). Padahal sebelumnya persatuan mulai menggema. Begitulah kita, cintanya hanya pada parpol, tokoh dan bendera. Cinta buta yang salah alamat. Dalam konstelasi politik demokrasi liberal saat ini, sebelum bertanding, sudah ada pemenangnya. Siapa? Bandar! Umat dan masyarakat hanya jadi umpan dan permainan tertawaan.

Pria berkemeja merah itu panjang lebar berpidato. Pak Tono, spontan terbahak. Karuan saja, ia jadi pusat perhatian kerumunan orang yang mendengarkan pidato. “Nah ini Pak Tono, mari Pak sini,” ajak pria kemeja merah. Pak Tono ke depan, merangsek kerumunan forum, yang menolak Ahok.

“Pak Tono, gimana pandangannya atas tiga cagub DKI?” Pak Tono tertawa lagi. Katanya, “Bapak benar. Itu yang bapak bicarakan tadi betul, termasuk pemenangnya.” Pria kemeja merah bingung. Pun dengan kerumunan forum. Mereka tidak tahu maksud ucapak Pak Tono.

“Jadi begini…” Pak Tono menerima pemberian micropon. Giliran dia mulai pidato.

Ahok, sudah dikunci forum RT RW, warga Betawi, masyarakat, dan umat Muslim Jakarta bahkan se-Indonesia makin mengemuka gema: asal jangan Ahok. Ia sudah sering menyakiti warga. Kepongahannya, seabreg dugaan kasus yang lolos hukum, penggusuran memaksa, kegagalan kinerja.

Akhirnya anti-Ahok meluas. Dan ini diolah elit politik. Pun pemodal. Kalau sudah pada tidak suka, bandar mana mau ambil risiko buntung? Rugi. Mending diganti.

Coba bandingkan saat pilpres dan jelang pengumuman kandidat Pilgub DKI 2017. Bagaimana gerakan pengusaha Taipan. Saat Pilpres geruduk ke rumah pengusaha Jacob. Ada Megawati, Jokowi. Lalu, bagaimana konstruksi dan framing media serta survei? Siapa pemenang Pilpres? Warning ulama kalah.

Nah, Pilgub DKI ini, polanya tak jauh beda. Simak siapa pengusaha yang sebelum pengumuman kandidat Pilgub ada yang woro-woro, apapun dalih mereka. Arah bandar sudah berubah. Cek saja media dan survei. Kemana arahnya, itulah calon terkuat pemenang kontes maenan Idol politik DKI 2017. “Jadi, semua ini hanya permainan, Pak?” teriak seseorang. Pak Tono tersenyum.

Politik adalah seni halus mendapat suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain. Pak Tono mengutip pendapat Oscar Ameringer, penulis berdarah German, kelahiran 4 Agustus 1870.

Jadi, tebak saja sendiri. Ketika warga dan ulama mulai bersatu, lalu suaranya tidak diakomodir. Tetapi kontestan kelak akan menghiba-hiba suara mereka. Kan itu tidak tahu malu. Dulu, suara masyarakat dan ulama juga tidak didengar: mulai Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, sampai dagelan KMP vs KIH soal penghapusan pilkada langsung. Masyarakat pun tertipu.

Energi bangsa habis mengikuti dagelan KMP vs KIH, itu. Tetiba keluar perppu Pilkada versi SBY. Akhirnya Pilkada langsung, digelar lagi. Bahkan dihelat serentak. Padahal bertentangan dengan sila keempat butir Pancasila. Bertentangan dengan UUD 1945. Sekarang saja menggunakan UUD amandemen 2002. Masih mau berharap pilkada bukan permainan? Taruh dimana wajah kita pada pahlawan dan leluhur bangsa?

Lihat saja, sejak pilkada langsung digelar 2004, sebanyak 300 lebih kepala daerah tersangkut hukum. Sebanyak 3.000 an anggota dewan ikut terseret. Itu data Kemendagri tahun 2015. Sekarang mungkin jumlahnya meningkat. Bandingkan saja hasil demokrasi Pancasila dan demokrasi liberal sekarang.

Jadi Pilgub DKI nanti tak seru. Hal yang seru kalau Ahok dan Sandiaga Uno benar-benar merealisasikan ucapannya soal pembuktian harta terbalik dan buka-bukaan harta. Termasuk aliran dana yang masuk dalam list konsorsium jurnalis investigasi internasional, ICIJ: di panama papers, offshore leaks, Bahama leaks, dan semisalnya. Asyik kalau PPATK juga berani membuka dana parkir di kantong tax haven lain.

Itu baru asyyik. Terlebih November nanti akan dihelat konferensi Interpol dunia di Bali. Ragam kejahatan finansial: pengemplangan, pencucian uang, offshore, geseran dana, narkoba, uang haram, dan segala tetek bengek kejahatan finansial kelak akan terjerat. Audit finansial global sudah bergerak. Tahun depan ada World Interpol 2017 di Singapura. Bakal deg-degan tuh yang simpan tax haven di sana.

“Jadi, Ahok nanti gimana? Kami sudah lelah ditindas. Tanah kami digusur. Padahal duluan kami yang tingggal di Jakarta. Saudara saya yang di Kepulauan Seribu sebal lagi. Ahok akan ancam kabupaten di sana jadi kecamatan. Masa Ahok mau jadi lagi?” celetuk ibu-ibu.

Pak Tono tersenyum lagi. Bagaimana mau menang. Mau kampanye saja susah, la wong ditolak dimana-mana. Dikawal seabre aparat yang gajinya dari rakyat. Jadi, Ahok hampir selesai. Makanya nekat mau gusur padahal dekat kampanye. Ia tahu bakal kalah. Nah, umat dan warga DKI pun jangan mau dibelah dengan dua kandidat Idol pribumi Muslim. Arah bandar sudah berubah tidak lagi memihak Ahok.

Tetapi, umat dan masyarakat perlu terus berjuang mengembalikan kemuliaan agama, mengembalikan UUD 1945, mengembalikan Piagam Jakarta, hapus pilkada langsung. Selama dipegang bandar, tetap saja kondisi akan 11 12, beda aktor dan kemasan. Hal penting jaga selalu perdamaian anak-anak bangsa.

“Nyimak cuitan Pak Fahri Hamzah soal ada calon nomor 1 yang akan jadi tersangka?” tanya Pak Tono. Beritanya ramai di media. Semua mengangguk-angguk. Nah pertanyaannya: kemana Ahok setelah keok? KPK berani membuinya atau kelak Ahok malah diangkat jadi menteri?

“Jadi menteri?” Tidaaaak. Kerumunan itu serempak berteriak menolak. Dari pada terus ditipu dagelan politik, jauh lebih berkah kita semakin peduli ke anak yatim dan perbanyak shalawat, ajak Pak Tono. Serempak bersua: Shallallahu ala Muhammad. Gemuruh shalawat memekik, menggetarkan jiwa-jiwa…

*) Pemerhati Masalah Sosial (rol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: