Nusanews.com - Warga Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara meminta agar pemerintah kota (Pemko) menelusuri dan mengevaluasi kembali izin pendirian Vihara di Tanjungbalai.
Sofyan Palinduri, Ketua LSM Lembaga Misi Reklasering (LMR-RI) salah satunya, ia mengatakan banyak izin rumah ibadah yang disalahgunakan.
Sepengetahuannya, Sofyan menuturkan, bahwa kebanyakan Vihara dan Klenteng yang ada di Tanjungbalai berizin balai pengobatan.
“Kalau izin pengobatan ada, karena memang itu balai pengobatan. Tapi jadinya malah tempat ibadah, berarti disalah artikan itu izin,” ujarnya saat ditemui hidayatullah.com, di Tanjungbalai, Senin (01/08/2016).
Ia menambahkan, tak hanya soal izin. Menurutnya, syarat mendirikan rumah ibadah juga tidak dipenuhi, terutama soal jarak dan jumlah penganut agamanya.
“Banyak aturan yang tidak sesuai. Jaraknya berdekatan, belum sampai 100 meter sudah ada Klenteng lagi,” ungkapnya.
Baginya, jika memang balai pengobatan, tidak masalah jika letaknya berdekatan. Tetapi tidak untuk rumah ibadah.
“Kalau balai penhobatan sah-sah saja berendeng, macam praktek dokter. Tapi kalau rumah ibadah jelas melanggar perundang-undangan,” tandasnya.
Sofyan bercerita, dahulu di sekitar tempat tinggalnya, Lingkungan 5 Kelurahan Perwira. Sebanyak 201 warga pernah menandatangani surat pernyataan tidak setuju terkait adanya pendirian Vihara.
Ia menjelaskan, surat itu terdiri dari 2 lembar. Halaman pertama berisi pernyataan tidak setuju, sedangkan lembar kedua berisi tanda tangan warga.
“Makanya kami heran, dulu kita tanda tangan tidak setuju tapi kenapa tetap juga berdiri (Viharanya, red),” katanya dengan nada curiga.
Sehingga, sambung Sofyan, terkait penahanan belasan orang oleh Polres Tanjungbalai yang diduga melakukan penjarahan dan pengrusakan, tidak sepenuhnya mereka bersalah.
“Karena kalau ditinjau ulang (izinnya), otomatis anak-anak ini kemungkinan bisa dibebaskan. Karena banyak izin Vihara itu disalahgunakan, mana bisa beroperasi,” tukas pria yang juga guru di Al-Wasliyah ini.
Apalagi, ia mengaku khawatir, kalau proses hukum terhadap belasan warga tersebut dianggap kurang adil. Dikarenakan, Meliana, perempuan keturunan China yang menolak suara pelantang masjid hanya berstatus sebagai saksi.
“Karena masyarakat tidak senang anaknya ditahan. Ini bisa jadi pemicu,” tandasnya.
Senada dengan Sofyan, anggota DPRD Tanjungbalai, Hamdayani menyatakan, sudah kesekian kalinya terjadi konflik di Tanjungbalai.
“Untung yang kali ini tidak jatuh korban, kalau sebelumnya itu sampai makan korban,” ucapnya secara terpisah saat berkunjung ke Masjid Al-Makshum di Jl. Karya, di hari yang sama.
Politisi dari Fraksi Hanura ini mewanti, jika terus terjadi penahanan terhadap warga, maka akan memicu konflik kembali.
“Tolong ini dihentikan,” harap Hamdayani menutup.* (ht)