Nusanews.com - Venezuela saat ini tengah diliputi krisis ekonomi. Hal ini membuat harga bahan pokok di negara ini melambung tinggi.
Seperti dilansir dari CNN, tiga makanan utama penduduk Venezuela yakni tepung, susu, dan pasta harganya melambung sangat tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itu, warga Venezuela membelinya di pasar gelap, namun harganya menghabiskan gaji sebulan. Harga untuk susu bubuk saja dijual bisa mencapai lebih dari 100 kali harga normal.
"Jika saya membeli di bachaqueros (pasar gelap), seluruh gaji saya bisa habis untuk tiga kilo beras," ujar Monica Savaleta yang berprofesi sebagai penari.
Warga Venezuela rata-rata memperoleh pendapat sekitar 15 ribu hingga 20 ribu bolivares (setara Rp 26,3 juta). Dengan gaji tersebut mereka membeli tepung dan pasta seharga 3 ribu bolivares (Rp 3,9 juta) per kilogram, serta susu seharga 7 ribu bolivares (setara Rp 9,2 juta) per liternya.
Wilfredo Cardona (25) bekerja sebagai tukang bangunan menyebutkan memperoleh gaji 40 ribu bolivares (setara Rp 52 juta) per bulannya, namun dia sulit untuk mendapatkan kebutuhan pokok di negaranya.
"Saya datang untuk membeli tepung, beras dan gula namun saya tidak menemukan satu pun di sini. Yang saya temukan hanya sabun dan saya tidak bisa makan sabun," seru Cardona.
Krisis ekonomi juga mengakibatkan penduduk Venezuela melakukan transaksi dengan cara kuno, yakni barter. Lantaran sekarang sudah abad ke-21, maka barter tidak lagi dilakukan di pasar melainkan lewat sosial media seperti Instagram, Facebook, dan juga aplikasi mengobrol, Whatsapp.
Biasanya para warga menukar berbagai barang kebersihan dengan makanan. Misalnya, popok dengan sekilo pasta, seperti yang dilakukan seorang pengguna Whatsapp ini.
"Saya memiliki banyak popok, saya akan menukar mereka untuk sekilo pasta," ujar seseorang di sebuah grup pesan Whatsapp, seperti dilaporkan Kantor Berita AFP.
Bahkan uang di negara ini dijadikan pembungkus empanada atau semacam makanan pinggir jalan. Sebuah foto yang diposting di media sosial Reddit menjadi heboh setelah seseorang memegang empanada dengan uang 2 Bolivar Venezuela. Foto ini dikomentari hingga 1.770 netizen.
Dilansir dari CNN, nilai mata uang Bolivar Venezuela kini memang hancur setelah ambruknya perekonomian negara tersebut. Bahkan, kebutuhan dasar seperti serbet atau pembungkus makanan sulit didapat. Awal tahun ini, pegawai dari Trinidad dan Tobago diduga telah menawarkan tisu ke Venezuela yang ditukar dengan minyak.
Selain itu, kebutuhan seperti gula, susu dan tepung tidak mudah untuk didapat di Venezuela. Masalahnya, 70 persen dari barang konsumsi Venezuela datang dari impor, menurut laporan Brookings Institution.
Indonesia juga memiliki cerita kelam soal uangnya. Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia masih menggunakan uang peninggalan Jepang. Namun, nilai tukar mata uang ini terus merosot sampai saat dipakai bertransaksi harus dikilo.
Presiden Soekarno sendiri yang menceritakan hal tersebut. Pada awal kemerdekaan Indonesia, mata uang yang berlaku masih mata uang peninggalan Jepang, karena saat itu pemerintah belum mampu mencetak mata uang sendiri.
Tahun 1946, Belanda kembali ingin menjajah Indonesia. Pemerintahan Republik pun terpaksa dipindah ke Yogyakarta. Di Kota Hijrah itu menteri dan pejabat negara tinggal di rumah-rumah penduduk yang mau menampung mereka.
"Kami juga tak punya uang. Uang dari zaman Jepang nilainya sudah merosot. Pada hari-hari pertama setelah merdeka, Dr Suharto bertindak sebagai bendahara kami. Dia tidak punya waktu untuk menghitung semua uang yang nilainya merosot itu. Sehingga dia menimbang setumpuk uang kertas dan membagi-bagikannya secara kiloan," kata Presiden Soekarno dalam biografinya Penyambung Lidah Rakyat.
Nah di Yogyakarta, untuk pertama kalinya Republik Indonesia akhirnya mencetak uang sendiri. Bermodal mesin cetak tangan, terbitlah Oeang Repoeblik Indonesia. Soekarno mengaku mutu uang tersebut tidak bagus. Uniknya lagi, tak ada cadangan emas untuk menjamin nilai tukarnya.
"Kami tidak mempunyai apa-apa sebagai penjamin uang cetak itu, kecuali sebuah mesin cetak tangan. Tak seorang pun di luar negeri yang mau menerima mata uang itu," kenang Soekarno.
Karena itu upaya untuk mencukupi kebutuhan Republik dilakukan bukan dengan jalan perdagangan, tetapi barter.
Tak berbeda jauh juga dialami Zimbabwe. Nilai mata uang dolar Zimbabwe hancur berantakan setelah negara tersebut dilanda krisis ekonomi dan hiperinflasi pada 2008 dan 2009 silam. Mata uang Zimbabwe menjadi tidak bernilai karena bank sentral Zimbabwe terus mencetak uang untuk menutupi defisit anggaran yang mendalam. Akibatnya, USD 1 setara dengan 35.000 triliun dolar Zimbabwe.
Uang triliunan dolar Zimbabwe sangat tidak berharga di sana. Buktinya, uang 100 miliar dolar Zimbabwe hanya cukup untuk memberi tiga butir telur ayam, seperti dikutip dari situ cavenmansircur.com.
Dengan melihat kondisi ini, negara bagian selatan benua Afrika ini dalam waktu dekat akan menghapus peredaran mata uang dolar Zimbabwe. Mereka akan menggunakan dolar Amerika (USD) dalam setiap transaksi. Pemerintah setempat menawarkan kepada masyarakat pemilik uang tunai atau deposito di bank untuk menukarkan uang mereka dengan dolar Amerika (USD). Tentu saja, nilai penukarannya adalah USD 1 sama dengan 35 kuadriliun dolar Zimbabwe.
Zimbabwe jatuh dalam krisis ekonomi mendalam setelah Presiden Robert Mugabe mengeluarkan kebijakan radikal soal distribusi lahan pada akhir 1990-an dan awal 2000an. Negara ini akhirnya mengalami kekurangan bahan pokok kronis. Sementara itu, bank sentral Zimbabwe terus mencetak uang untuk membiayai defisit anggaran. Akhirnya terjadi kenaikan harga yang menggila di Zimbabwe. (mdk)