Nusanews.com - Pemberian jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin masih jauh dari sempurna. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapat jaminan tersebut. Anehnya, banyak orang kaya, bahkan seorang walikota, malah masuk dalam daftar menerima jaminan itu.
Fakta inilah yang ditemukan Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf. Politisi Demokrat ini tengah mengisi masa reses DPR dengan berkeliling ke daerah untuk mengetahui layanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Ada empat daerah yang sudah diceknya secara langsung oleh Dede, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Sorong, dan satu daerah lain di Papua Barat.
Dalam hasil penelusurannya, terdapat ketumpangtindihan Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Harusnya, BPJS Kesehatan meng-cover jaminan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu. Untuk yang masih tidak ter-cover, akan masuk sebagai penerima Jamkesda. Namun faktanya, ada masyarakat yang mendapat dua jaminan itu secara langsung dan ada juga masyarakat miskin yang tidak mendapat jaminan sama sekali. Parahnya lagi, ada orang mampu yang ikut mendapatkan salah satu jaminan tersebut.
"Menurut informasi dari Kepala Dinas Kesehatan, ada walikota yang masuk dalam data pemerima Jamkesda. Walaupun jaminan itu tidak dipakai (oleh walikota dimaksud), ini menunjukkan data yang berantakan. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya berhak mendapatkan bantuan itu malah tidak ter-cover,” jelas Dede dalam keterangan, Kamis (4/8).
Namun, Dede tidak mau hanya menyalahkan pihak BPJS Kesehatan dan Pemerintah Daerah. Sebab, basis data yang digunakan untuk memberikan jaminan kesehatan itu berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Sosial (Kemensos).
"Ini koreksi untuk BPS. Karena BPJS itu kan datanya dari BPS dan Kemensos,” ucapnya.
Dede menemukan kasus itu di empat daerah yang didatanginya. Dengan kondisi itu, dia memprediksi hal yang sama terjadi juga di daerah lain. "Artinya, amburadulnya data ini terjadi di seluruh Indonesia. Mustinya ini ditangani BPS,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi hal ini, Dede meminta BPJS Kesehatan segera melakukan MoU dengan Pemerintah Daerah guna memberikan jaminan yang terintegrasi. Konsepnya, warga yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan harus mendapat jaminan dari Jamkesda. Untuk pembayarannya, Jamkesda bisa menagih ke BPJS.
Jaminan terintegrasi ini perlu diberikan karena sampai saat ini BPJS baru bisa meng-cover sekitar 80 persen masyarakat miskin. Masih ada sekitar 20 persen yang belum terlayani. "Biasanya, yang 20 persen ini anggarannya disiapkan daerah,” ucapnya.
Untuk BPS dan Kemensos, Dede meminta segera memperbaharui data penduduk miskin supaya lebih akurat. Sebab, ketidakakuratan data telah mengakibatkan jaminan kesehatan menjadi tidak tepat sasaran. Alhasil, banyak masyarakat miskin yang tidak mendapat bantuan tersebut.
"BPS dan Kemensos harus segera melakukan validasi data. Sebab, menurut laporan yang kami terima, data yang dipakai untuk memberikan bantuan itu adalah hasil survei 2011. Datanya sudah jadul,” beber Dede.
Padahal, dalam rentang waktu lima tahun, sudah banyak perubahan di masyarakat. Ada masyarakat yang masih miskin di tahun 2011 tapi sekarang ekonominya sudah maju. Ada yang sebaliknya, pada 2011 masih termasuk orang mampu tapi sekarang menjadi miskin.
"Jadi, kesimpulannya, data itu harus diverifikasi setahun sekali. Tidak bisa surveinya tiap lima tahun sekali. Kan BPS punya dana untuk melakukan itu,” tandasnya. (rmol)