Nusanews.com - Secara normatif Gubernur DKI Jakata Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang Pilkada. Jadi dalam hal kedudukan hukum atau legal standing dia sebagai Pemohon tampaknya tidak akan bermasalah di Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja, dari sisi etika ketatanegaraan, muncul problem ketika seorang Gubernur sebagai “pelaksana undang-undang” hendak menyoal ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Demikian dikatakan pemerhati bidang politik dan ketatanegaraan yang Direktur Eksekutif SIGMA Indonesia Said Salahudin.
“Muncul problem soal etika, ketika seorang Gubernur sebagai pelaksana undang-undang hendak menyoal ketentuan yang diatur dalam undang-undang
Ketika dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok kan sudah mengucap sumpah/janji untuk menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Nah, undang-undang Pilkada yang didalamnya mengatur ketentuan cuti selama masa kampanye bagi calon petahana itu kan juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang semestinya dilaksanakan dengan selurus-lurusnya oleh Pak Ahok dalam posisinya sebagai petahana Gubernur. Jadi aturan itu seharusnya bukan untuk dipersoalkan, melainkan semata-mata untuk dijalankan oleh Ahok,” kata Said dalam siaran persnya yang diterima pagi ini.
Menurut Said, pasal tentang ketentuan cuti bagi petahana dalam Pilkada itu tetap boleh diuji di MK. Ketentuan manapun dalam undang-undang boleh saja diuji, tetapi sebaiknya tidak diajukan oleh pejabat negara yang telah menjadi pelaksana undang-undang. Jadi biarlah pihak lain saja yang menjadi pemohonnya.
“Oleh sebab itu, saya menyarankan Pak Ahok mencabut saja permohonannya itu. Sebab ini terkait dengan etika bernegara yang seharusnya ditunjukan oleh Pak Ahok, yaitu etika politik dan pemerintahan yang tertuang dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001,” kata Said. (sm)