Nusanews.com - Apa yang disampaikan oleh Sri Mulyani Indrawati (SMI) kepada Jokowi dan publik tentang penerimaan pajak yang akan berkurang hingga Rp 219 triliun, sebenarnya, sudah sejak tiga bulanan lalu disampaikan oleh Rizal Ramli (RR) kepada Presiden juga. Jadi apa yang diprediksi oleh RR tentang besaran kekurangan penerimaan pajak (sebesar Rp 200-an triliun”) telah menjadi kenyataan, dibenarkan oleh SMI.
Namun, berbeda dari SMI yang tetap optimis bahwa perolehan dari program Tax Amnesty tetap mencapai Rp 165 triliun, RR memprediksi perolehan dari pengampunan pajak ini nilainya paling banyak Rp 50-an triliun.
Setelah menyatakan kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp 219 triliun, SMI menyatakan akan memotong besaran APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 133,8 triliun. Dikatakan oleh SMI bahwa pemotongan anggaran Rp 133 triliun -yang terbagi menjadi Rp 65 triliun anggaran Kementerian dan Lembaga (K/L) dan Rp 68,8 triliun anggaran transfer daerah- tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena tidak akan mengganggu program-program pembangunan infrastruktur. Pemotongan APBN Perubahan 2016 ini, dikatakan SMI, hanya akan menyasar program-program yang tidak produktif seperti perjalanan dinas dan operasional.
Bila melihat gelagat di kebijakan perekonomian Pemerintahan dewasa ini, terjadi pengetatan anggaran belanja (austerity) tersebut, pastilah merupakan suatu pemenuhan prasyarat atas akan datangnya utang luar negeri dari kelompok Bank Dunia. SMI merupakan pejabat Bank Dunia, saat diceritakan JK dan Sofyan Wanandi pergi ke Amerika Serikat (AS) melobby ekonom kanan ini agar mau kembali menjabat Menkeu di Pemerintahan Jokowi. Karena bila ternyata target penerimaan dari pajak terlalu optimistis dan untuk menahan dari defisit yang terlalu besar sehingga harus diadakan utang luar negeri, maka SMI dan grup Bank Dunia adalah entitas yang paling tepat.
SMI, saat itu, meminta syarat agar RR keluar dari kabinet bila ingin dirinya masuk menjadi Menkeu. Klop sudah, pertemuan kepentingan Peng-Peng (pengusaha merangkap penguasa) dengan neolib. Kemudian akan datang prasyarat-prasyarat lain dari Bank Dunia bila kelak SMI mengunduh utang luar negeri dari Bank Dunia, yang besarnya kemungkinan akan berkisar Rp 120-180 triliun (US$ 10-15 miliar).
Bank Dunia pasti akan meminta beberapa undang-undang dan peraturan untuk mereka supervisi demi meliberalisasi perekonomian Indonesia. Hal inilah yang disebut dengan penjajahan gaya baru. Kita akan terjajah saat pemerintahan menukar utang luar negeri dari lembaga donor asing dengan kebijakan dan perundangan neoliberal.
Padahal ada jalan lain untuk mendongkrak perekonomian, tanpa harus berutang kepada Bank Dunia sehingga merugikan kepentingan nasional, yaitu dengan jalan melakukan revaluasi aset BUMN-swasta. Memang bukan jalan yang mudah, tidak semudah seperti berutang dari Bank Dunia, bahkan dapat dikatakan: kompleks dan penuh tantangan.
Sejak diselipkan dalam paket kebijakan V, revaluasi aset telah sukses menaikkan aset total keseluruhan BUMN dari Rp 4.577 triliun menjadi Rp 5.395 triliun (sekitar Rp 820 triliun). Target penerimaan pajak dari revaluasi aset yang hanya Rp 10 triliun, telah berhasil dilewati dengan dibukukan Rp 20,4 triliun sebagai penerimaan pajak. Menurut Deputi Kementerian BUMN, dari total 118 BUMN, baru 79 BUMN yang lakukan revaluasi aset.
Berikut adalah rincian BUMN-BUMN yang sudah melakukan revaluasi aset, beberapa yang terbesar. Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatatkan penambahan aset sebesar Rp 500 triliun (dari Rp 600 triliun menjadi Rp 1.100 triliun). Bank Mandiri mencatatkan penambahan aset sebesar Rp 23 triliun. Bank BNI mencatatkan penambahan aset Rp 12 triliun. Bank BRI mencatatkan penambahan aset Rp 8 triliun. PT Aneka Tambang mencatatkan penambhan aset Rp 2,3 triliun. Bank BTN mencatatkan penambahan aset Rp 1,5 triliun. Bank Permata mencatatkan penambahan aset sebesar Rp 1 triliun. PT Waskita Karya mencatatkan penambahan aset Rp 400 miliar. Dan seterusnya.
Yang menjadi masalah di sini adalah belum seluruh BUMN melakukan revaluasi asetnya, masih ada sekitar 39 BUMN yang belum melakukannya. Artinya program revaluasi aset masih berjalan setengah-setengah, alias parsial. Salah satu BUMN yang belum ikut melakukan revaluasi aset adalah PT Pertamina. Pertamina sendiri saja, diperkirakan dapat membukukan peningkatan aset sebesar Rp 1000-an triliun bila melakukan revaluasi aset.
Dengan melakukan revaluasi aset, BUMN-BUMN dapat meningkatkan kapasitasnya untuk berutang dari pasar uang. Utang yang dilakukan di sini tidak memerlukan prasyarat apapun yang merugikan kepentingan rakyat dan bangsa. Tidak seperti saat pemerintah berutang ke lembaga donor Barat, yang menyebabkan kembalinya Indonesia di bawah NEO-KOLONIALISME. (rmol)