Nusanews.com - Terkuaknya kasus pembelian lahan atas kepemilikan sendiri oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, menunjukkan lemahnya inventarisasi aset isntitusi Pemprov DKI pimpinan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Hal ini, sekaligus juga membuktikan kecerobohan Ahok dalam memimpin para anak buahnya.
Anggota Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta Prabowo Soenirman menyebut, harusnya ada sinkronisasi pengelolaan aset antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI dalam bentu sistem.
Dengan begitu, kata dia, kasus pembelian lahan senilai Rp648 miliar di kawasan Jalan Lingkar Luar, cengkareng, Jakarta Barat tak perlu terjadi.
“Yang harus disayangkan juga ada keteledoran Gubernur dalam masalah ini, itu jelas tidak bisa ditutup-tutupi,” kata Prabowo di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Kamis (30/6/2016).
Keteledoran yang dimaksud Prabowo adalah harusnya Ahok dapat memberikan disposisi yang jelas kepada anak buahnya di lapisan SKPD DKI Jakarta ketika memberi penugasan melakukan pengadaan lahan atau pun barang dan jasa.
“Dalam disposisi itu harusnya Ahok menitikberatkan anak buahnya untuk meneliti dengan cermat status lahan tersebut, bukan hanya gencar disposisi untuk melakukan pengadaan lahan sebanyak-banyaknya saja,” ungkap politisi Partai Gerindra itu.
Diketahui, kasus tersebut hanya salah satu poin hasil audit Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) penggunaan anggaran Pemprov DKI tahun 2015.
Dimana pembelian tanah di kawasan Jalan Lingkar Luar, Cengkareng dengan luar 4,6 hektar dilakukan Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran senilai Rp648 miliar dengan harga Rp14,1 juta per meter. Padahal nilai jual objek pajak di kawasan itu hanya Rp6,2 juta per meter.
Tak hanya itu, nyatanya pemilik tanah tersebut adalah Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI yang notabenenya sama-sama anak buah Ahok di lapisan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI Jakarta.
Anehnya lagi, Kepala Dinas DKPKP Darjamuni mengaku tidak tahu menahu mengenai adanya transaksi tersebut, dan Dinas Perumahan mengaku tidak melakukan transaksi dengan DKPKP.
Kepala Inspektorat DKI, Mery Erna Harni saat menjelaskan, pada nyatanya tanah tersebut dimiliki pemerintah sejak 1967. Namun fatal akibatnya karena pemerintah tak langsung membuatkan sertifikat hingga pada akhirnya PT. Sabar Ganda mengklaim lahan tersebut pada 2007.
Empat tahun kemudian muncul Toety Noezlar Soekarno, warga Bandung yang mengabarkan memiliki sertifikat sah atas lahan tersebut lalu menawarkannya kepada Dinas Perumahan, hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan harga Rp648 miliar. (it)