Nusanews.com - Ironis sekali. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti selama ini mengklaim hasil tangkapan nelayan di masa kepemimpinannya melimpah, namun di sisi lain diam-diam keran impor ikan tetap dibuka.
Bahkan untuk ikan sejenis Cakalang, impornya menembus angka 2.000 ton, seperti terungkap dalam rapat kerja Menteri KKP dengan Komisi IV DPR, belum lama ini.
"Ikan makarel yang diimpor itu masih wajar. Namun, untuk tongkol, cakalang, dan baby tuna jika masih diimpor juga menjadi suatu yang lucu dan tidak masuk akal," sindir anggota Komisi IV DPR Akmal Pasluddin saat itu.
Lalu ada apa sebenarnya di balik keran impor ikan ini, khususnya untuk jenis ikan yang konon katanya melimpah di Indonesia?
Ada beberapa kebijakan Kementerian KKP yang menurut kajian Rokhmin Dahuri, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, perlu dikoreksi kembali. Apa saja itu, berikut penjelasannya kepada Rakyat Merdeka;
Menurut kajian Anda, kok Indonesia malah impor ikan, bahkan untuk jenis ikan yang melimpah di Indonesia?
Persoalan mendasarnya, kita punya potensi ikan tetapi dengan kebijakan seluruh pukat hela, pukat tarik dilarang. Kemudian persoalan kapal buatan luar negeri, kalau KKP kan mendefinisikannya eks asing kan, seolah-olah barang haram. Kan buatan luar negeri sebetulnya.
Harusnya kan sudah terbukti dimiliki oleh pengusaha Indonesia, sudah lama gitu ya. Itu kan kapal moderen, kenapa nggak kita manfaatkan ikan-ikan yang dicuri selama ini dengan kapal-kapal modern itu.
Kata Menteri Susi, ikan kita sekarang banyak. Tapi kok bisa kontraproduktif dengan fakta lapangan?
Singkat cerita, ikan ada tapi nggak dimanfaatkan. Jadi nggak ada supplai. Implikasinya kekurangan. Lalu harus impor. Nah banyak orang yang mengkhawatirkan jangan-jangan ini permainan aja nih.
Permainan bagaimana maksudnya?
Misalkan importir, kelakuan mentalitasnya pedagang kan bukan industriawan, bukan nasionalis. Kalau pedagang kan yang penting ada untung, entah itu barangnya impor atau segala macam. Tidak peduli kan. Tapi ini kan menjadi ironi yang sangat menyesakkan dada.
Maksud Anda?
Ada ikan, tapi nggak boleh tangkap. Harus impor. Itu baru ikan di perikanan tangkap. Kalau KKP bijaksana kan ada potensi 10 kali lipat lebih besar dari perikanan tangkap, yaitu perikanan budidaya.
Tapi ini tidak dihidupkan, selalu difokuskan ke perikanan tangkap, yang sebenarnya nilainya hanya seperenam atau bahkan sepersepuluhnya dari perikanan budidaya volume produksinya.
Bagaimana jika didayagunakan dua-duanya, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya?
Kalau dua-duanya itu didayagunakan, bukan saja mampu mencukupi industri pengolahan, kita pun bisa ekspor. Lalu bisa membantu juga negara yang lagi kewalahan daging sapi ini. Harus diedukasi masyarakat kita, daripada bergantung pada daging sapi kan lebih baik ikan. Karena sulit sekali kita swasembada sapi, karena memang lahan gembalaan kita sempit sekali. Rasionya itu kalau nggak salah hanya 700 meter persegi perorang itu, kalau Australia itu bisa ratusan hektar. Makanya padang penggembalaannya bisa jutaan hektar. Sehingga produksi sapi itu lebih berkualitas, lebih murah dan seterusnya. Nggak bisa dipaksakan. Harusnya karena kita negara maritim, kepulauan terbesar jangan sapi protein hewani utamanya. Tapi harus dari seafood dan ikan. Kan cakep kalau begitu.
Kembali ke impor ikan, jadi pernyataan Menteri Susi selama ini bahwa pasca pemberantasan illegal fishing, hasil tangkap ikan kita banyak dan melimpah bisa dikatakan omong kosong dong?
Bukan saya ngomong, itu data. Dulu kan Kementerian KKP mengklaim nggak akan impor dan segala macam. Tapi waktu Wapres JK ke Bitung, ternyata nggak ada itu. (Malah) impor. Nilai tukar nelayan kan turun juga. Lihat data BPS, kalau 2014 dibandingin 2015, di 2015 itu sembilan bulan turun. Hanya tiga bulan yang agak naik dikit. Jadi kalau secara statistik itu kan turun kesimpulannya kan. Itu data yang bicara, bukan pencitraan. Bukan omongan saya, bukan omongan KKP juga, tapi data yang membuktikan. Sehingga buktinya kita impor. Nelayan banyak nganggur.
Ada berapa banyak nelayan nganggur saat ini?
Kan sudah sejuta (nelayan) lebih kali. *** (rmol)