Nusanews.com - Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menyebut ada kejanggalan dalam kasus penyandaraan tujuh WNI di perairan Filipina belum lama ini. Salah satunya soal uang tebusan yang diminta pelaku penyanderaan dalam bentuk Ringgit Malaysia.
"Kenapa mereka meminta tebusan dalam bentuk ringgit, bukan Dollar atau Peso," kata Ridlwan di Jakarta, Senin (27/06/2016).
Selain itu, lanjut dia, kelompok bersenjata juga hanya menawan tujuh orang dan membiarkan kapal beserta enam orang lainnya pulang.
Ridlwan meminta pemerintah segera merumuskan mekanisme tanggap darurat dalam menyikapi kasus penyanderaan. "Pemerintah tampak belum memiliki mekanisme tanggap darurat ketika sebuah kasus penyanderaan terjadi," kata dia.
Seperti diberitakan, kelompok bersenjata di Filipina kembali menyandera tujuh anak buah Kapal TB Charles dari Samarinda saat melintas di perairan Filipina. Peristiwa penyanderaan ini adalah peristiwa penyanderaan kali ketiga di Filipina.
"Berbeda dengan dua kasus penyanderaan sebelumnya, respons pemerintah terlihat gagap dan kurang siap terhadap kasus ini," ujar Ridlwan.
Dia menyesalkan pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla dan Panglima TNI sempat menyangkal adanya penyanderaan. Pemerintah baru bersikap ketika kabar simpang siur terjadi.
"Baru setelah simpang siur, pak Luhut (Menkopolhukam) membuat crisis centre," ujar dia.
"Kita sempat dipuji dunia internasional ketika sukses membebaskan 14 WNI. Saat ini kita diuji lagi dengan kasus tujuh WNI, maka jangan lengah," tutupnya. (rn)