Nusanews.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko S Ginting menilai Presiden Joko Widodo mesti belajar dari pengalaman penunjukan Kepala Polri terakhir.
Sebab, penunjukkan Kapolri itu berakhir pada kekisruhan lantaran memilih sosok kontroversial.
"Jangan sampai Presiden Jokowi kembali memilih sosok yang kontroversial dan menuai polemik lagi di masyarakat," ujar Miko melalui siaran pers, Kamis (9/6/2016) pagi.
"Oleh sebab itu pengalaman ketika pemilihan calon Kapolri lalu yang akhirnya berujung pada kekisruhan di bidang penegakkan hukum seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Presiden," kata dia.
Dalam penunjukkan pimpinan lembaga atau menteri, Presiden seyogyanya bersandar pada Nawacita dan reformasi institusi kepolisian itu sendiri.
Presiden harus memilih sosok yang bersih, profesional, kompeten, antikorupsi dan berkomitmen kepada penegakkan hukum.
Perpanjang Badrodin
Miko mengakui, Presiden juga dihadapkan pada opsi mempertahankan masa jabatan Jenderal Badrodin Haiti sebagai Kapolri.
Miko menilai, hal itu tidak jadi persoalan. Pasalnya, hal itu mendasarkan diri juga pada peraturan dan perundangan.
Peraturan dan perundangan yang dimaksud, yakni Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Terlebih lagi, dalam keputusan Presiden saat mengangkat Badrodin Haiti sebagai Kapolri, tidak disertai atau ditulis tentang masa waktu jabatan Badrodin.
"Artinya, selama Badrodin berdinas aktif sebagai anggota Polri atau selama personel itu belum diberhentikan oleh Presiden, maka ya selama itu pula dia dapat memegang jabatan Kapolri," ujar Miko.
Jika Presiden memilih opsi mempertahankan masa jabatan Badrodin, maka Presiden tidak perlu lagi meminta persetujuan DPR.
Perpanjangan masa jabatan anggota Polri berpangkat Komisaris Besar ke atas, kata Miko, hanya membutuhkan payung hukum berupa Keputusan Presiden. (kp)