Nusanews.com - Terdakwa pencemaran nama baik Joko Widodo yang adalah redaktur tabloid Obor Rakyat, Darmawan Sepriyossa, menyatakan dua hal yang membuatnya yakin bahwa kasusnya tak pantas disidangkan di pengadilan negeri dengan pasal-pasal pidana yang ada.
Hal itu disampaikannya dalam eksepsi yang dibacakan pada sidang kedua kasus pencemaran nama baik Joko Widodo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (9/6). Eksepsi itu didapatkan redaksi dari halaman media sosial yang dimilik Darmawan, di mana ia membagikannya ke publik.
Dermawan mengutip penjelasan beberapa tokoh pers dan pakar komunikasi dari dalam dan luar negeri seperti F. Fraser Bond, Roland E. Wolseley hingga Adinegoro dan Onong Uchjana Effendy.
Darmawan juga mengutip penjelasan tegas dari UU Pers (UU 40/1999) bahwa apa yang dimaksud dengan pers atau jurnalistik adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
"Dengan semua kriteria yang saya kemukakan tadi, bagaimana bisa manakala kami sebagai pengelola Obor Rakyat dalam proses pembuatan tabloid tersebut hingga sampai ke tangan pembaca, masih dikatakan bukan merupakan produk jurnalistik?" katanya.
Ia membandingkannya dengan hasil karya pemikiran dan tulisan para aktivis mahasiswa dalam kegiatan pers mahasiswa yang sejak zaman dulu sangat kritis. Juga bentuk-bentuk media perjuangan di masa lalu, seperti "Medan Prijaji" pimpinan Tirto Adhi Soeryo, "Doenia Bergerak" yang dibuat Mas Marco Kartodikromo, atau "Suara Independen" yang dibentuk para aktivis pra-1998.
"Apakah tidak bisa disebutkan produk jurnalistik? Hanya semata karena mereka tak memiliki perusahaan yang legal secara hukum?" gugat Darmawan
Ia tegaskan, dirinya tidak terima dan siap beradu pendapat sesengit apapun bila Obor Rakyat dibantah sebagai produk jurnalistik. Padahal Obor Rakyat sudah memenuhi tiap hal yang disyaratkan dalam berbagai definisi tentang produk pers.
"Karena alasan-alasan di atas itulah, kami meyakini bahwa perkara ini seharusnya disidangkan dengan UU Pers yang lebih patut diutamakan dalam mengadili sengketa dan kesalahan akibat pers, sehingga dengan kata lain, kami pun meyakini bahwa sidang ini telah salah mengadili perkara," urai Darmawan.
Hal kedua adalah berkenaan dengan waktu kejadian perkara yang bertepatan dengan rangkaian proses pemilihan presiden (Pilpres). Mereka meyakini bahwa kasus ini murni pidana Pemilu, dan karena itu harus diadili pada saatnya, yakni pada waktu berjalannya proses Pemilu tersebut.
"Mengapa Bawaslu saat itu langsung mem-by pass kasus ini ke Kepolisian RI, hingga kini sejujurnya masih menjadi tanda tanya besar buat kami," ucapnya.
Ia pun mengutip pemberitan pada Juni 2014 bahwa Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI (saat itu) Ronny Franky Sompie dan Kepala badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri (saat itu) Suhardi Alius juga seperti mempertanyakan sikap dan keputusan yang diambil Bawaslu tersebut.
Kepolisian (Bareskrim) menolak pengaduan Bawaslu karena karena tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur aduan yang disepakati, yaitu tidak melalui pembahasan di Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum (Gakumdu Pemilu).
"Dengan dua alasan tersebut di atas, kami meyakini bahwa sidang kasus Obor Rakyat, mau tidak mau tergolong sebuah peradilan yang salah, atau apa pun istilahnya secara hukum," tegas dia. (rm)