Nusanews.com - Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ingin kembali maju dalam Pilgub DKI lewat jalur independen. Namun Ahok menuding ada pihak-pihak yang ingin mengganjalnya untuk kembali memimpin Ibu Kota.
Diketahui, dalam UU Pilkada yang baru itu, syarat bagi calon independen diperketat dengan adanya dua verifikasi, administrasi dan faktual. Dalam pasal 48 UU tersebut diberlakukan sistem verifikasi faktual (tatap muka) bagi pendukung calon independen.
Ahok merasa dirinya diganjal dengan ketentuan baru itu. "Oh saya ga (uji materi) bisa dong. Saya dirugikan apa? Itu kan memang orang-orang yang ngarep saya gak bisa ikut (Pilkada 2017). Ambil saja kursi gubernur kalau lu mau," ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/7).
Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu melakukan penilaian apakah mampu melakukan verifikasi sesuai dengan pasal di atas. Jika tidak mampu seharusnya mereka melakukan uji materi terhadap RUU Pilkada ini.
"Kita mah nurut saja. Sekarang KPU sanggup ga verifikasi sejuta. Uji materi, KPU dong yang ajuin. Yang keberatan kan KPU dong. Bisa kerja gak," tutup Ahok.
Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno mengaku tidak keberatan dengan aturan verifikasi faktual yang diatur dalam Pasal 48 di Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tersebut. Dia mengaku siap untuk melaksanakan amanat UU tersebut.
"Insya Allah siap. Kesulitan di mana? Biasa saja," kata Sumarno.
Dia menjelaskan dalam pasal tersebut ada sejumlah tahap verifikasi. Pertama, Panitia Pemungutan Suara (PPS) akan mendatangi setiap dukungan yang sudah masuk dari rumah ke rumah. Jika yang bersangkutan tak ada di tempat, maka pendukung diberikan waktu tiga hari untuk mendaftarkan diri ke PPS.
Kedua, apabila dalam tenggat itu tidak ada konfirmasi, dokumen dukungan yang diajukan terhadap calon perseorangan dinyatakan dicoret. "Kalau ada diverifikasi untuk datang ke PPS, kalau tidak datang ke PPS tidak memenuhi syarat," terangnya.
Selain itu, teknisnya, lanjut Sumarno, sistem verifikasi akan dilakukan satu per satu suara dukungan warga. Misal, dukungan untuk calon independen satu juta KTP, maka panitia akan memverifikasi keseluruhan.
Dia menyebut, panitia verifikasi dari KPU DKI cukup banyak, dan jumlahnya sekitar ratusan ribu. Belum lagi, katanya, tenaga tambahan. "Iya (diperiksa semua). Jadi sensus didatangi 1 per satu. Kalau tim kan banyak ada ribuan orang. KPU punya kekuatan kelurahan ribuan orang. 144 ribu orang tingkat kecamatan, kelurahan, RT/RW sampai petugas pemutakhiran data terpilih," tandasnya.
"Kan itu dilakukan di petugas PPS. Ada petugas tambahan juga nanti. Tergantung banyak dukungan untuk calon independen," sambung Sumarno.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Arteria Dahlan menyebut bahwa verifikasi secara faktual itu bukan untuk mengganjal pencalonan seseorang dari jalaur independen. Menurutnya dengan verifikasi tersebut akan memperkuat kualitas dukungan calon independen.
"Penyelenggara pemilu banyak yang tidak melakukan verifikasi, dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, ditemukan fakta di mana banyak pasangan calon perorangan, yang sejatinya tidak lolos tapi sengaja diloloskan," ujarnya.
Arteria menyebut, kecurangan semacam itu menyebabkan munculnya 'calon boneka', yang kerap disiapkan hanya untuk memecah suara bagi para calon yang disiapkan sebagai pemenang, oleh para pemilik modal dan para penguasa.
Untuk itu, lanjut Arteria, dirinya berharap mekanisme baru ini akan menjadi alat bantu dalam memverifikasi data, melalui metode yang dinilai efektif dalam mencegah kecurangan-kecurangan secara sistematis.
Kasus dukungan KTP gelap ini pernah terjadi saat Pilgub Jawa Timur 2013 lalu. Saat itu calon independen pasangan Eggi Sudjana dan Muhammad Sihat mengumpulkan 1,2 juta KTP penduduk se-Jawa Timur. Angka itu, melampaui jumlah prasyarat yang ditetapkan KPU Jawa Timur yaitu 1.118.000 KTP yang minimal tersebar di 19 kabupaten/kota. Namun ternyata KTP-KTP tersebut bukan dukungan real.
Saat itu Eggi dan Sihat yang menggunakan jargon politik, Beres (Bersama Eggi-Sihat) daftar ke Kantor KPU Jawa Timur pada Kamis (11/4/2013) dengan diantar sekitar 4 ribu massa pendukung. Massa itu dibawa dengan 70 unit bus, 100 angkot dan 10 kendaraan pribadi.
Namun ribuan massa pendukung Beres yang memadati halaman Kantor KPU Jawa Timur itu, tidak tahu menahu kalau mereka tengah berada di Kantor KPU Jawa Timur. Bahkan mereka juga mengaku kalau kedatangannya itu tidak untuk mendukung pasangan Beres yang maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur periode 2014-2019.
Rata-rata, mereka mengaku hendak berziarah ke Makam Sunan Ampel di Surabaya dan Makam Syehkona Cholil di Bangkalan, Madura. Seperti yang diungkap Lastri (53), asal Kediri ini misalnya, dia mengaku kalau hendak berziarah ke Makam Syehkona Cholil dan tidak tahu menahu kalau hari ini ada pendaftaran untuk calon gubernur melalui jalur independen.
"Saya tidak tahu kalau ini Kantor KPU Jawa Timur. Katanya, saya dan rombongan ke sini hanya untuk transit saja. Tujuan kami sebenarnya ya ke Makam Mbah Cholil (panggilan Syehkona Cholil) untuk berziarah kemudian ke Makam Sunan Ampel," aku Lastri di Kantor KPU Jawa Timur.
Waktu hendak berangkat dari Kediri, lanjut dia, sampai di perjalanan kami diajak ke sini (KPU Jatim). Setelah dari sini (Kantor KPU), nanti langsung melanjutkan perjalanan ziarah ke Bangkalan dan Makam Sunan Ampel."
Selain Lastri, Siti Aminah (30)asal Paiton, Probolinggo juga menyampaikan hal yang sama. Aminah juga mengatakan kalau tujuannya datang ke Surabaya ini, diajak oleh tetangganya yang bernama Bambang untuk berziarah bukan mendukung calon gubernur.
"Saya ke sini itu diajak Pak Bambang. Katanya saya mau diajak jalan-jalan dan berziarah ke Makam Sunan Ampel. Saya nggak tahu kalau mampir ke sini (Kantor KPU) dulu. Wong saya cuma diajak, saya ya nggak tahu apa-apa," ungkap perempuan yang mengenakan jilbab warna merah muda itu.
Bahkan, saat ditanya ihwal Eggi Sudjana, ibu dua anak ini juga mengaku tidak tahu menahu siapa itu Eggi Sudjana. "Saya tahunya ya diajak berziarah, tidak dikasih tahu soal siapa tadi? Eggi Sudjana? Wong saya nggak kenal siapa dia," katanya heran.
Bukan hanya dua perempuan ini saja, yang mengalami nasib yang sama, terdampar di Kantor KPU Jawa Timur. Beberapa orang yang ikut memadati halaman Kantor KPU Jawa Timur, rata-rata, juga mengaku bertujuan untuk berziarah kubur dengan melampirkan foto copy KTP ke panitia ziarah.
Namun karena saat itu belum ada persyaratan verifikasi faktual, Eggi dan Muhammad Sihat tetap lolos sebagai pasangan calon independen di Pilgub Jatim. Hal inilah yang ingin dihapus dalam UU Pilkada yang baru oleh Komisi II DPR.
"Dengan undang-undang baru, hal ini (permainan dan kecurangan) akan sulit dilakukan. Karena syarat yang akan dilakukan itu harus dibuktikan terlebih dahulu melalui metode sensus," ujar Arteria. (mdk)