NBCIndonesia.com - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Yayasan Satu Keadilan menilai, fenomena penggusuran di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok harus dikritisi jika tidak membawa dampak positif bagi kesejahteraan korban penggusuran.
"Penggusuran dengan dalih pembangunan, yang mengabaikan kemanusiaan dan keadilan sosial, merupakan pelanggaran yang bisa dituntut secara hukum maupun politik," kata Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, Minggu (15/05/2016).
Merujuk pada data yang dihimpun Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), terdapat sekitar 62.036 warga miskin menjadi korban penertiban yang dilakukan Gubernur Basuki sejak 2013. Sebanyak 17.533 jiwa digusur dari Jakarta pada tahun 2013; 15.931 jiwa (2014); 28.572 jiwa (2015).
Sejak Januari hingga Mei 2016, penggusuran terjadi di beberapa wilayah Jakarta, seperti Bukit Duri, Kalijodo, Pasar Ikan, dan Kampung Akuarium dengan alasan bahwa warga menempati lahan secara ilegal.
Ironisnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat sebanyak 84 persen kasus penggusuran tidak melalui proses musyawarah antara pemerintah dan warga.
Di Penjaringan, Jakarta Utara, puluhan warga Pasar Ikan yang terkena dampak penggusuran, tinggal di perahu nelayan yang ada di pinggiran tanggul perairan Sunda Kelapa karena rumah susun warga (rusunawa) yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jaraknya terlalu jauh dari tempat mata pencarian warga.
Penggusuran warga dari tempat tinggal mereka di beberapa lokasi lain, seperti Kalijodo, Pasar Ikan, dan Luar Batang, bukan saja persoalan kepemilikan hak atas tanah, melainkan juga sistem sosial yang sudah terbangun, baik berupa suasana persaudaraan, lingkungan kerja yang nyaman, maupun pertetanggaan yang tidak bisa diterjemahkan dengan cara memindahkan korban penggusuran ke rusunawa.
"Penggusuran sistem sosial itu mahal harganya dan tidak bisa diganti dengan rusunawa saja, disertai uang sewa pula," ungkap Sugeng.
Menurut dia, untuk mewujudkan prinsip keadilan terhadap para korban, Pemprov DKI harus berupaya mensubtitusi sistem sosial secara keseluruhan.
"Hal ini tentu berbeda dengan pandangan kapitalisme yang melihat tanah tempat tinggal korban penggusuran sebagai modal semata," katanya. (rn)