Nusanews.com - Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet menganggap Jakarta tak layak disebut sebagai kota. Menurut dia, kota tak sekadar soal demografis, tapi juga budaya, sosial, dan kenangan.
Apa yang terjadi dengan ibu kota? Menurut Robert, Jakarta tidak memiliki unsur civility, artinya tempat tinggal yang memanusiakan warganya. "Jakarta adalah kota yang terluka," kata Robet saat kuliah umum di Menteng Central, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 Mei 2016.
Menurut dia, sejak dikoyak kerusuhan 1998, hingga saat ini ibu kota Jakarta belum sembuh total.
Robert menyebut mal Klender yang merupakan tempat ratusan orang terbakar hidup-hidup saat pecah kerusuhan 1998. Menurut dia, seharusnya ada monumen atau sesuatu yang dapat mengingatkan warga akan tragedi itu. "Tapi kota ini tidak memberikan itu," kata dia.
Belum sembuh dari luka itu, kata dia, Jakarta kini ditambah luka baru. Luka baru itu, kata Robert, penggusuran di tempat-tempat yang dianggap kumuh. Penggusuran dianggap bukan cara membangun kota. Dia mengatakan, kota tidak hanya dibangun berdasarkan kebutuhan ekonomi, tapi harus diimbangi pembangunan sosial. Namun, kata dia, pemerintah abai dengan pembangunan sosial masyarakatnya.
Robet mengatakan, hasil dari kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi memunculkan kesenjangan sosial yang makin lebar. "Untuk kaum menengah ke atas, pemukiman kumuh itu mungkin tak ada artinya. Tapi untuk kaum yang tinggal di dalamnya, itu segalanya bagi mereka," ujar dia.
Pemerintah, kata Robert, bisa memindahkan tempat tinggal. Tapi, kata dia, kenangan dan kehidupan mereka, tak akan pernah dipindahkan. (tp)