Nusanews.com - Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, mengatakan semua orang bisa ditangkap lembaga antikorupsi. Selama, KPK memiliki bukti bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu pun dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahja Purnama alias Ahok pun bisa ditangkap oleh KPK. Selama lembaga yang sekarang dipimpin Agus Rahardjo Cs punya alat bukti yang kuat terkait perkara dugaan suap pembasahan Raperda reklamasi teluk Jakarta.
"Jadi persoalannya hanya satu, alat bukti. Kalau alat bukti itu ada, bisa diproses. Cuma iblis saja yang engga bisa ditangkap oleh KPK. Kalau manusia (seperti Ahok) bisa ditangkap," kata Abdullah di Gedung KPK, Jakarta, Senin (23/5/2016).
Menurut dia, apabila pihak KPK mempunyai alat bukti dugaan keterlibatan atau putusan Ahok yang menjurus keranah korupsi, maka segera ditindak. KPK, kata dia, tidak boleh tebang pilih dalam mengusut suatu perkara yang tengah ditangani.
"Enggak boleh (ditahan-tahan). Jangankan Ahok, Presiden Jokowi, kalau memang (dia) melanggar hukum juga diproses," ujar dia.
Namun, dia meminta semua itu berdasar pada alat bukti. Apabila lembaga antikorupsi tak memiliki bukti kuat, maka harus dijelaskan kepada publik agar terang benderang dan tidak menjadi spekulasi di kalangan masyarakat.
"Dulu saja, orang tuduh KPK enggak bisa tangkap ini, tangkap itu, buktinya enggak kan. Dulu KPK waktu tangkap besannya SBY, enggak ada persoalan. Itu besan SBY lho, ketika SBY masih jadi presiden. KPK tangkap mantan Kapolri, Anas Ketua Umum Parpol penguasa, ga ada persoalan," kata dia.
Dugaan keterlibatan Ahok dalam reklamasi teluk Jakarta kian terkuak sejak terbongkar adanya permintaan kontribusi tambahan 15 persen terhadap para pengembang. Duit itu diduga digunakan Ahok untuk membiayai proyek Pemprov DKI Jakarta.
Ahok sebelumnya mengatakan bawa dana kontibusi tambahan diminta berdasarkan pada hak diskresi yang dimilikinya selaku Gubernur.
Menanggapi hal itu, Ketua KPK, Agus Rahardjo, membenarkan bahwa pejabat negara memiliki hak tersebut. Namun, kata dia, hak itu tidak bisa digunakan dengan semena-mena yakni mengeluarkan izin reklamasi teluk Jakarta pada pengembang.
Sebab, peraturan daerah mengenai pengeluaran izin oleh pemerintah daerah masih dibahas oleh DPRD DKI. Untuk itulah dia mempertanyakan penggunaan hak diskresi oleh Ahok.
"Kan diskresi juga ada rambu-rambunya," ujar Agus menanggapi pernyataan Ahok mengenai penggunaan hak diskresi di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Agus mengatakan, segala kewenangan yang dimiliki birokrat seharusnya mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Tanpa hal tersebut, suatu kebijakan pejabat publik dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum.
Sebelumnya, Ahok sapaan Basuki, kembali menegaskan bahwa dia menggunakan hak diskresinya dalam memberikan izin reklamasi kepada pengembang. Hak diskresi tersebut berupa perjanjian kerjasama yang menentukan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dikali nilai jual objek dan lahan yang dijual.
Hak diskresi itu juga yang membuat Ahok bisa memberikan izin meskipun perda tentang reklamasi dibatalkan. Ia mengatakan hal ini untuk melindungi Pemprov DKI Jakarta.
Selain menghindari kerugian APBD dalam proyek reklamasi, menurut Ahok, perjanjian kontribusi tambahan akan menguntungkan Pemprov DKI dalam proyek-proyek lainnya.
Ahok merasa paham betul tentang UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur tentang hak diskresi, karena dia sempat mengikuti proses pembahasannya ketika masih menjadi anggota Komisi II DPR RI. Ahok mengatakan UU itu dibuat agar kepala daerah memiliki dasar hukum untuk menghentikan kebijakan yang merugikan. (il)