Iuran Demi Tan Malaka
Oleh: Fadh Ahmad Arifan (Penulis adalah alumni Jurusan Studi islam di Pascasarjana UIN Malang)
Di ruang guru MA Muhammadiyah 2 Malang tergeletak Koran Jawapos. Sambil menanti giliran mengajar, saya baca-baca isinya. Isi koran Jawapos edisi 17 Mei 2016 ada yang menarik perhatian saya. Membahas filosof Tan Malaka. Zulfikar Kamarudin, Keponakan Tan malaka bilang kalau pamannya Hafal Quran dan paham tafsirnya. Saking jeniusnya, seluruh warga di kampungnya iuran demi Tan malaka bisa menuntut ilmu ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. saat di Belanda, Tan malaka suka olah raga sepakbola.
Di dalam diskusi "Merajut Kenangan, Jalan Sunyi Sang Pejuang Republik." yang berlangsung di Auditorium Gedung IX FIB Universitas Indonesia, Zulfikar Kamarudin juga bercerita bahwa pamannya pernah pidato dihadapan Stalin. Dengan lantang ia menyatakan bangsa indonesia tak bisa dilepaskan dari Islam. Baru 15 menit pidato, oleh Stalin dipaksa berhenti. Namun penulis buku Madilog tersebut tak bergeming.
Pada tahun 1919, ia pernah jadi Guru di sebuah perkebunan Teh di Deli, Sumatera Utara.
Saat kongres PKI tanggal 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Karya monumentalnya Madilog berjumlah 568 halaman. Buku setebal itu bahasanya njlimet dan tidak ada catatan kaki dan referensi. Apakah Tan malaka menulis buku itu dalam keadaan "tertekan" sehingga bahasanya sukar dipahami? ataukah memang orang ini bukan tipikal seorang penulis?.
Madilog merupakan refleksi atas nasib buruk bangsa Indonesia yang dinilai Tan malaka tidak pernah keluar dari belenggu perbudakan. Sebelum diperbudak penjajah, bangsa ini juga diperbudak sistem feodal. Feodalisme ini yang menyebabkan orang takut atau malas berfikir dan mudah menyerah.. Buku yang penulisannya memakan waktu 8 bulan itu pada era 1990-an cukup populer dikalangan aktivis. Popularitasnya lebih kurang sama dengan buku karangan Pramoedya ananta Toer, Ivan illich dam paolo freire. (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, hal 40).
Sekitar bulan juni tahun 2014, di hadapan anak anak pesantren al-Yasini, saya perkenalkan pemikiran filsafat Tan malaka. Dalam buku Madilog Tan malaka menulis, "Dalam mempelajari filsafat harus dipilah-pilah dahulu pikiran-pikiran para ahli filsafat, kalau tidak begitu bisa bingung. Contoh: antara Idealis dan Materialisme." (Madilog, 2014, hal 51)
Filosof yang punya nama asli Sutan Ibrahim itu mengatakan pikiran (konsep/idea) lebih dulu ketimbang benda (materi), itulah idealis. Jika Sebaliknya Benda dulu, baru datanglah pikiran, itu Materialisme. Masih menurut Tan malaka, Kemajuan manusia harus dilihat dari 3 tahap: Dari mistik lewat “filsafat” ke ilmu pengatahuan (Sains). Bagi Tan Malaka, selama bangsa kita terkungkung “Mistik” itu, tak mungkin jadi bangsa yang merdeka dan maju.
Demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia rela menjomblo sepanjang hayatnya. Saat memberi kata pengantar untuk bukunya Helen jarvis, Mantan Ketum partai Murba, W. suwarto berpendapat, “selama 28 tahun berjuang, hanya sekitar 2 tahun saja Tan Malaka punya kesempatan dan kemungkinan bergerak di tanah airnya sendiri”. Diakhir hayatnya Tan Malaka ditangkap dan ditembak mati pada bulan februari 1949. Entah apa kesalahan dia sampai dizalimi seperti itu. Tahun 1963, diangkat menjadi pahlawan nasional oleh Bung karno. Namun ironisnya kata Peneliti asal Belanda, Prof Harry A. poeze sewaktu bedah buku di Universitas brawijaya, Malang mengatakan, “Selama 30 tahun, namanya dicoret dalam buku Sejarah Nasional.”
Masih kata Harry A. Poeze “Saat ini, di buku pelajaran sekolah sama sekali tidak disebut, ini tidak cocok dengan realitas sejarah. Tan Malaka punya peran penting waktu revolusi dan ini harus diakui,”. Peran pentingnya menulis proses menuju Republik Indonesia dalam bahasa Belanda pada 1924, dan ini pertama kali disebut sebagai Republik Indonesia. Karena itu, kemudian hari Tan Malaka disebut Bapak Republik Indonesia. Harry berkesimpulan, peran Tan setara, bahkan mungkin lebih dari yang dimainkan Che Guevara dari Kuba dan Ho Chi Minh di Vietnam (Majalah Detik edisi 10-16 Maret 2014). Wallahu’allam. (ts)