logo
×

Minggu, 24 April 2016

Warga Terganggu Kejiwaannya Minta Hak Pilihnya di Pemilu Dikembalikan

Warga Terganggu Kejiwaannya Minta Hak Pilihnya di Pemilu Dikembalikan

NBCIndonesia.com - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) kembali digugat di Mahkamah Konstitusi.

Kali ini pemohonnya adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta seorang warga negara Indonesia bernama Khorunnisa Nur Agustyati.

Para pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 57 Ayat (3) Huruf a UU Pilkada karena dianggap diskriminatif dan merugikan hak konstitusional warga negara.

Adapun ketentuan tersebut berbunyi, "Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya." Para pemohon menilai ketentuan tersebut telah menghilangkan hak memilih bagi para penderita gangguan kejiwaan karena tidak dapat didaftar sebagai pemilih dalam pilkada.

"Ada salah pengertian di tengah masyarakat bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa adalah satu kondisi yang permanen yang tidak bisa diperbaiki, secara konstan terus-menerus berada dalam kondisi yang tidak bisa memutuskan," kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Rosanna Damayanti dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Rosanna menjelaskan bawah orang dengan gangguan jiwa yang mendapatkan pengobatan dan dukungan sosial yang tepat dapat hidup selayaknya orang-orang kebanyakan.

"Warga negara yang mengidap gangguan kejiwaan tidak berlangsung terus-menerus dan setiap saat karena gangguan kejiwaan kadang dapat hilang dan menjadi normal kembali," kata Fadli selaku kuasa hukum pemohon.

Keadaan seperti itu dinilai para pemohon dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam pilkada.

Oleh sebab itu, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 57 Ayat (3) Huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keterangan Ahli Bivitri Susanti selaku Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) menjelaskan bahwa istilah penyandang disabilitas intelektual dan mental memang baru dimasukkan secara resmi ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas yang sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah pada tanggal 17 Maret 2016.

Bivitri menjelaskan bahwa RUU tersebut menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi di lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

"Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi psikososial, di antaranya schizophrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian," kata Bivitri.

Sementara itu, dr. Irmansyah sebagai Ketua Komite Etik Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor menerangkan bahwa Pasal 57 Ayat (3) Huruf a UU No. 8/2015 menyatakan syarat menjadi peserta pemilu haruslah sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya. Hal tersebut, menurut Irmansyah, merujuk pada penderita psikosis.

"Meskipun penderita psikosis mengalami disabilitas dalam sebagian fungsi mentalnya, mereka tetap dapat hidup normal dan mampu menentukan yang terbaik menurut dirinya," kata Irmansyah ketika memberikan keterangan selaku ahli dari pihak pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, baru-baru ini.

Irmansyah menjelaskan bahwa sebagai bagian dari pemulihan, para penyandang psikososial sebetulnya membutuhkan dukungan dari lingkungan, bukan dihambat dalam bersosialisasi. Salah satunya adalah saat berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Jawaban Pemerintah Pemerintah kemudian menanggapi dalil para pemohon dengan menyatakan bahwa bila pemerintah memberikan hak pilih bagi penyandang psikososial, hal itu justru menimbulkan masalah baru.

"Itu tidak memberikan kepastian hukum, tetapi malah berpotensi menjadi permasalahan baru," kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Suhajar Diantoro.

Pemerintah menilai objek-objek permohonan tersebut bukanlah hal yang diskriminatif, melainkan lebih pada persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

"Ketentuan a quo semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," pungkas Suhajar. (rn)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: