logo
×

Senin, 18 April 2016

Kalahkan Ahok? Ini Strateginya

Kalahkan Ahok? Ini Strateginya

Beberapa pimpinan partai, wartawan dan aktivis bertanya pada saya lebih detail. Jika partai besar, PDIP + KMP bersatu dan maju dengan calon bersama, satu pasang saja, bisakah mereka mengalahkan Ahok?

Dengan pengalaman saya membaca data survei dan sudah memenangkan 30 pilkada gubernur sejak 2005, cepat sekali saya menjawab: sangat bisa karena saya membaca data! Tapi tentu dengan beberapa syarat.

Bahkan katakanlah KMP dan PDIP tak bisa bersatu suara mengusung calon bersama, mereka tetap bisa bersatu di putaran kedua. Berbeda dengan pilkada daerah lain, DKI mensyaratkan pemenang pilkada haruslah minimal memperoleh dukungan 50 persen + 1.

Tiga hal mengapa mengalahkan Ahok di DKI tak sesulit seperti yang banyak orang kira?

Pertama, siapapun yang melawan Ahok akan mendapatkan otomatis sekitar 35 persen suara populasi pemilih! Mereka pemilih yang militan melawan Ahok karena alasan agama.

Suka atau tak suka, ini wajah pemilih Jakarta. Dari sekitar 85 persen pemilih Muslim, lebih dari 40 persen karena keyakinan agamanya, tak ingin memilih pemimpin non-muslim. Total jumlah mereka sekitar 35 persen dari keseluruhan populasi Jakarta.

Sangatlah sulit mengubah pilihan mereka karena ini menyangkut keyakinan agama yang sudah tertanam lama. Butuh banyak generasi untuk mengubah keyakinan agama itu, dan belum tentu berhasil pula!

Walau di atas 50 persen pemilih muslim tak mempermasalahkan pemimpin non- muslim, namun prosentase di atas 40 persen muslim garis keras yang tak sudi pemimpin non-muslim itu jumlahnya sangat signifikan.

Gerakan mereka bisa lebih militan dari teman Ahok. Katakanlah teman Ahok militan karena impulse modern Good Governance. Namun impulse primordial agama selalu lebih kuat, karena keyakinan surga dan neraka dan sebagainya. Suka atau tidak, itulah fakta yang ada!

Inilah keuntungan besar kandidat gubernur Muslim melawan Ahok head to head. Ia secara otomatis dan gratis sudah mendapatkan dukungan 35 persen. Dukungan ini bukan karena prestasi sang kandidat, tapi muntahan karena keyakinan agama membuat mereka tak ingin Ahok terpilih.

Kedua, karena sudah ada 35 persen dukungan gratis, mengalahkan Ahok hanya butuh 16 persen dari sisa 65 persen populasi. Rahasia ini tak pernah diungkap oleh ahli survei manapun. Bahwa mengalahkan Ahok saat ini hanya masalah mengambil dukungan 16 persen dari 65 persen populasi yang tersisa.

Siapakah 65 persen populasi tersisa itu? Mereka adalah kumpulan pemilih yang masih mengambang sekitar 10 persen, ditambah pendukung Ahok yang fanatik sekitar 35 persen, dan bersimpati pada Ahok sekitar 20 persen.

Suara 35 persen Ahokers tak usah direbut. Mereka sudah menjelma menjadi Ahok Fans Club. Seolah hidup dan mati ikut Ahok. Namun di luar itu masih ada 30 persen pemilih yang masih mengambang dan hanya bersimpati pada Ahok, tapi mudah berubah.

Mengalahkan Ahok hanya mengambil 16 persen dari sisa 30 persen yang bisa dipengaruhi itu, dengan tidak lagi menghitung 35 persen Ahokers!

Menang dan kalah dalam pilkada DKI bisa disederhanakan dengan siapa yang bisa mengambil pemilih yang masih mengambang dan hanya bersimpati pada Ahok, sejumlah 30 persen?

Ketiga, 30 persen suara yang diperebutkan itu tak tertarik dengan isu SARA. Mereka justru diraih dengan prinsip good governance. Kandidat yang ingin mengambil suara mereka harus mengerjakan dua hal sekaligus.

Di satu sisi, menunjukkan bahwa dalam kinerja Ahok yang bagus tetap ada kelemahan dari sisi Good Governance. Isu yang sudah diangkat dan sudah berdentang di hati publik adalah: reklamasi pantai yang sarat korupsi, potensi korupsi pada pembelian tanah RS Waras, penggusuran yang kurang manusiawi, dan katakter Ahok yang memaki warga di publik.

Semakin terbuka data dan kasus hukum yang bisa menunjukkan secara meyakinkan bahwa ada sisi yang tak ajeg, dan tak sesuai dengan prinsip Good Governance, semakin Ahok ditinggal oleh block 30 persen pemilih tersebut.

Di sisi lain, kandidat itu juga harus tak hanya mampu mengkritik Ahok. Ia juga harus punya program membangun Jakarta yang tak kalah menggebrak, heboh, pro- keberagaman dan meyakinkan. Banyak pula pemilih kosmopolitan, pro keberagaman yang karena satu dan dua hal tak suka Ahok.

Kandidat yang ingin menyusun program yang meyakinkan harus pula berdasarkan survei, FGD, depth interview agar berlandaskan apa yang publik inginkan.

Jika Ahok tetap maju di jalur independen, PDIP mempunyai calon sendiri, dan KMP mempunyai calon sendiri, sejauh calon PDIP dan KMP kuat, Ahok bisa dipaksa dua putaran. Di putaran kedua, KMP dan PDIP bersatu mengalahkan Ahok.

Namun jika PDIP dan KMP bersatu sejak awal, head to head melawan Ahok yang maju di jalur independen, calon PDIP dan KMP besar kemungkinan mengalahkan Ahok sejauh memenuhi syarat di atas.

Tanpa kasus hukum yang menimpa Ahok atau lingkarannya, PDIP + KMP bisa mengalahkan Ahok murni berdasarkan perhitungan prilaku segmen pemilih. Apalagi jika nanti ada kasus hukum mengarah pada lingkaran Ahok sendiri.

Dicekalnya staf khusus Ahok bernama Sunny semakin menambah keyakinan bahwa berdasarkan data, PDIP + KMP potensial mengalahkan Ahok.

Kemenangan PDIP + KMP atas Ahok di pilkada DKI juga akan menyelamatkam marwah partai dari eforia calon independen. Jika Ahok menang melalui jalur independen, warung partai di pilkada semakin sepi karena semakin banyak calon menggunakan jalur independen.

10 bulan adalah waktu yang panjang. Ahok masih mungkin menang jika PDIP dan KMP tak berjumpa calon yang kuat. Namun Ahok juga mungkin kalah karena perhitungan di atas, yang distimulasi oleh calon PDIP+ KMP yang kuat. (ts)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: