NBCIndonesia.com - Ini bukanlah cerita tentang Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh pejuang wanita, pelopor emansipasi dan pendobrak keterbelakangan kaum hawa. Ini adalah kisah Kartini lainnya, Kartini Muljadi. Perempuan kelahiran Kebumen 17 Mei 1930, yang tengah menjadi sorotan dalam pusaran dugaan korupsi proyek pengadaan lahan RS Sumber Waras.
11 April 2016 silam, Kartini Muljadi, Ketua Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) itu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). kartini digarap selama hampir 10 jam, mulai dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Usai diperiksa, Kartini bungkam.
"Saya sakit, sakit, sakit." katanya dari atas kursi roda yang membawanya keluar dari gedung KPK di Jalan Rasuna Said.
Kartini disebut-sebut tahu banyak soal kasus yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu. Tak heran KPK kembali memanggil dan memeriksa perempuan yang masuk dalam daftar orang terkaya versi Majalah Forbes tahun 2012 itu, Selasa 19 April 2016.
Peran Kartini diketahui sangat sentral. Dalam dokumen audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus pembelian RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta yang diperoleh Rimanews, nama Kartini disebut berkali-kali dengan inisial KM.
Mantan Direktur RS Pusat Pertamina, Adji Suprajitno kepada auditor KPK bercerita tentang asal muasal Kartini menjual lahan Sumber Waras.
Pada pertengahan 2007-2008, Adji bertemu dengan Kartini di Plaza Indonesia bersama seorang berinisial HRT. "HRT menawarkan lahan Sumber Waras seluas 6,9 hektare dengan harga Rp800 miliar. Tapi ditawar Rp650 miliar, tapi ditolak karena terlalu rendah," tutur Adji.
Namun, dalam pertemuan itu, Kartini berjanji bila Adji yang mengambil alih RS Sumber waras dia akan menurunkan harganya sedikit di bawah NJOP.
Kemudian, Adji langsung mengabarkan rencana penjualan RS Sumber Waras ke Basuki Tjahaja Purnama, yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Mendengar informasi tersebut, dalam rapat pimpinan dengan DPRD DKI Jakarta 11 November 2013, Ahok mengabarkan informasi tersebut. Bahkan, Ahok juga memberikan disposisi kepada Kepala Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta Dien Emmawati. "Saudari kadinkes. Harap diperiksa laporan ini. Pemda beli saja," ungkap Ahok dalam disposisinya.
Ahok meminta Dien mempelajari agar Pemda bisa membeli lahan tersebut. apalagi dia mengaku mendapat laporan tentang kondisi RSSW dari pegawai RSSW pada 28 Oktober 2013.
Keinginan Ahok untuk membeli lahan diungkapkan kembali pada Rapim tertanggal 2 Desember 2013. Ketika itu, Ahok bilang, RSSW akan dijual Rp1,8 triliun dan pemprov akan menawar harga sesuai apprasial karena masih bagus. Mantan Bupati Belitung Timur itu langsung memerintahkan Kepala Bappeda Andi Basso Mappoleanro untuk menganggarkan pembelian RSSW pada APBD-P tahun 2014. Sebelumnya, pembelian lahan itu tidak tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah daerah (RKPD) sesuai Pergub Nomor 47 tahun 2013.
Usai Rapim, Ahok kembali bertemu dengan Adji pada 12 Desember 2013 di Ruang Rapat Wagub Gedung Balai Kota.
Dia memberi informasi bahwa YKSW memang berniat melepaskan kepemilikan. Awalnya kepada Direktur RSPP, tapi kata Adji, RSPP maupun rekan-rekannya tidak mampu membeli RSSW.
Kepada Ahok, Adji mengaku hanya mampu menyusun rencana pengembangan rumah sakit. Ahok tertarik, dan berharap agar Adji membantu Pemprov DKI 'merayu' pemilik YKSW agar bersedia melepas RSSW kepada pemprov DKI.
Apalagi, Adji sempat mengungkapkan kepada Ahok, apabila pembelian RSSW dilakukan melalui dirinya, maka pemprov DKI dapat memperoleh harga di bawah NJOP.
Selang lima bulan kemudian, tepatnya 12 Mei 2014, Ahok kembali melontarkan gagasannya membeli Lahan Sumber Waras. "Beli RS Sumber Waras sesuai NJOP kira-kira Rp1,6-1,8 triliun dan jadikan Sumber waras spesialisasi
jantung," kata Ahok.
Harga taksiran Rp1,6 - 1,8 triliun merupakan harga untuk lahan dengan luas sekitar 6,9 hektare. Sebab, Lahan Sumber Waras itu, terdiri dari dua sertifikat, yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk lahan seluas 32.370 m2 dan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk lahan seluas 36.410 m2. Lahan SHM berada di jalan Kyai Tapa dengan NJOP Rp20.755.000. Sedangkan lahan HGB berada di jalan Tomang Utara dan tidak mempunyai akses langsung ke Jalan Kyai Tapa dengan NJOP maksimal Rp7.455.000. Lahan HGB inilah yang akhirnya dibeli pemprov DKI Jakarta.
Lantas, mengapa Ahok membeli lahan HGB tersebut? Sebab YKSW memang tidak pernah menjual lahan bersertifikat SHM.
Pada 6 Juni 2014, pengurus YKSW yakni Kartini Mulyadi, dan Direktur Umum dan SDM RS Sumber waras Abraham Tedjanegara menemui Ahok dan Deputi tata Ruang dan Lingkungan Hidup Sarwo Handayani. Kartini ingin mengkonfirmasi pemberitaan media tentang rencana pembelian RSSW oleh Pemprov.
Pada pertemuan itu, Ahok bertanya kepada Kartini. "Apakah Rumah Sakit dijual? karena Pemprov DKI memerlukannya," tanya Ahok.
Tapi Kartini menjawab dan menyampaikan, pihak YKSW tidak menjual Rumah Sakit. Tapi hanya sebagian lahan milik YKSW.
Alasan Kartini, sebagian lahan masih dalam sengketa. Dia menjelaskan, lahan yang akan dijual hanya tanah dengan status sertifikat HGB nomor 2878/Desa Tomang seluas 36.410 m2.
Mendengar itu, Ahok 'merayu' Kartini dan Abraham. Apabila tetap ingin menjual tanah RSSW yang memiliki SHM, sebaiknya Kartini menjualnya ke Pemprov. Pertemuan 6 Juni itupun usai tanpa kata kesepakatan.
Pada 11 Juni 2014, Kartini Mulyadi dan Abraham Tedjanegara kembali bertemu dengan perwakilan pemprov yang diwakili Kepala Seksi Yankeslihtrad Isnindyarti. Dalam pertemuan itu, lagi-lagi, Kartini menyatakan bahwa RSSW tidak dijual.
Tapi, setelah pertemuan itu, mendadak Isnindyarti ditelepon Abraham Tedjanegara. Intinya, sama, lahan yang dijual hanya lahan HGB yang tidak berdiri bangunan Rumah Sakit. Rumah Sakit tidak dijual.
Isnindyarti pun menyimpulkan bawa RSSW tidak dijual. Selain menelopon Isnindyarti, Abraham juga menghubungi Sarwo Handayani.
Hasil rapat 11 Juni 2014 itu, dituangkan dalam laporan 16 Juni 2014 tentang Hasil Rapat rencana Pembelian RSSW antara YKSW dengan Dinkes Pemprov DKI. Laporan itu menyatakan, RSSW tidak dijual sebab, ada pihak swasta (PT Ciputra Karya Unggul) yang telah berniat membeli sebagian tanah RSSW dan menginginkan perubahan peruntukan.
Namun, Ahok yang mendengar laporan itu, langsung 'menjegal' swasta membeli lahan. Alasannya, pemerintah tidak akan menyetujui lahan itu diubah peruntukannya yang semula Suka Sarana Kesehatan (SSK) menjadi bangunan komersial.
Ahok meminta YKSW menjual seluruh lahannya kepada Pemprov DKI saja.
Ahok akhirnya setuju untuk membeli lahan HGB. Dia pun memerintahkan agar membeli saja lahan HGB itu.
Ahok yang sebelumnya ngotot menyediakan anggaran Rp1,6-1,8 Triliun pun memerintahkan anak buahnya, Wakil Kepala Bappeda Sri Mahendra Satria Wirawan mengurangi anggaran menjadi Rp800 miliar.
27 Juni 2014, Abraham Tedjanegara melayangkan surat nomor 133/DIR/D/K/VI/2014 kepada Ahok yang saat itu telah menjabat Plt Gubernur DKI Jakarta. Surat itu perihal penjualan tanah Rumah Sakit Sumber Waras yang berisi lampiran fotokopi sertifikat HGB nomor 2878 /Desa Tomang seluas 36.410 m2 dan PBB RSSW tahun 2014 dengan harga tanah Rp20.775.000. Tanah yang ditawarkan dalam surat penawaran itu tidak berbatasan langsung dengan Jalan Kyai tapa dan untuk akses masuk ke dalam harus melalui Pintu masuk RSSW yang tidak dijual oleh YKSW.
Abraham mengatakan, surat penawaran itu dibuat atas permintaan Kepala Dinas Kesehatan Dien Emmawati.
7 Juli 2014 YKSW kembali menerbitkan surat yang ditujukan kepada Ahok nomor 14/YKSW/2014 perihal tanah milik YKSW. isinya persetujuan untuk menjual tanah HGB sesuai NJOP senilai Rp20.755.000. Selain itu, YKSW juga meminta agar menyelesaikan terlebih dahulu perikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Unggul. YKSW akan menjual tanah itu ke PT Ciputra senilai Rp15,5 juta per meter. Tapi, lantaran Pemprov membeli dengan harga per meter Rp20.775.000 per meter, perjanjian itu dibatalkan.
Lantas adakah kejanggalan dalam kesepakatan jual beli Pemprov DKI dengan YKSW? Nantikan tulisan berikutnya. (rn)