NBCIndonesia.com - Rezim Jokowi-JK saat ini terus-menerus menggaungkan Nawacita, yang dikatakan sebagai pengejawantahan ajaran Trisaktinya Bung Karno. Namun pada kenyataannya, fakta di lapangan, kaum pribumi, anak asli bumiputera, disingkirkan terus-menerus hingga menjadi kaum marjinal. Aseng dan Asing kembali menjadi tuan di negeri ini, dan bangsa pribumi Indonesia kembali terjajah. Para pejabat telah menjadi antek-antek Asing dan Aseng yang bisa hidup makmur sejahtera dengan menjual negerinya sendiri yang telah diperjuangkan dengan tetesan darah dan keringat jutaan nenek moyangnya. Inilah Indonesia sekarang.
Sekadar mengembalikan ingatan. Di bawah diturunkan kembali artikel dari situs www.nu.or.id tentang upaya Bung Karno melindungi usaha kaum pribumi dari Asing dan Aseng. Berikut artikelnya:
Waktu itu pemerintah Hindia Belanda membuat formasi sosial yang diskriminatif. Orang-orang kulit putih Eropa sebagai kelas satu, sementara kelas duanya adalah Timur asing yakni Cina, Arab dan India, mereka mendapat kedudukan istimewa dari Belanda baik secara politik terutama secara ekonomi. Sementara kelas proletarnya adalah yang disebut Inlander (pribumi) yang secara ekonomi dan politik dipinggirkan, mereka menjadi miskin, karena diisap bahkan diperbudak. Paradigma itu yang kemudian dibalik oleh Bung Karno. Langkah itu bukan diskriminatif tetapi sebagai penerjemahan dari sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak sedikit tokoh yang menentang gagasan revolusioner itu termasuk tokoh Lekra Pramoedya Ananta Toer yang katanya pro rakyat, tetapi kali ini atas nama non diskriminasi membela pemilik modal untuk menjarah desa.
Drs H Rachmat Mulyomiseno, tokoh NU yang diangkat Bung Karno menjadi Menteri Perdagangan dengan tugas melindungi usaha kaum pribumi dari Aseng dan Asing
Aktor yang ditampilkan Bung Karno dalam menggerakkan kebijakan yang nasionalistis dan populis itu adalah tokoh dari Partai NU yang dikukuhkan sebagai Menteri Perdagangan yaitu Drs H Rachmat Mulyomiseno. Dikeluarkanlah peraturan pemerintah (PP) No.10 tahun 1959. Dengan penuh antusias, Rahmat menjalankan Peraturan pemerintah tersebut melarang warga negara asing (Cina, Keling, Arab, Jepang, dll.) untuk menetap di desa-desa dan kecamatan-kecamatan. Mereka hanya dibolehkan bertempat tinggal di ibukota kabupaten. Dengan cara ini para warga negara asing (WNA) hanya boleh berusaha di kota kabupaten, sementara desa dan kecamatan terbebas dari mereka. Peraturan tersebut jelas diterapkan untuk melindungi usaha pribumi. Kalau pengusaha Timur Asing yang selama ini mendapat hak istimewa dari Belanda dibiarkan, akan melindas usaha pribumi, karena mereka kuat dari segi modal, fasilitas, dan jaringan.
Proteksi tersebut sangat efektif, terbukti sejak saat itu kegiatan usaha di pedesaan dan kecamatan menggeliat maju, meskipun pada awalnya terdapat kesenjangan karena ditinggalkan para Cina baru yang berdatangan deras masuk wilayah Republik Indonesia baik yang legal maupun menyelundup. Kebijakan ini menyebabkan kegiatan sosial budaya asing, terutama budaya Cina otomatis terhenti, seperti tontonan kesenian Liong, Barongsay dan lain-lain yang diadakan tiap peringatan tahun baru Cina, Cap Go Meh, Ceng Beng dan lain-lain.
Pada masa orde baru larangan semakin menguat sehingga nuansa kecinaan semakin sirna. Barulah pada era reformasi sekarang, semuanya kembali ke titik awal, seperti sebelum lahirnya PP 10/1959.
Latar Belakang Keluarga
Rachmat Mulyomiseno dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah, pada 9 Juni 1919. Walaupun lahir di lingkungan santri, orang tuanya sangat terbuka, sehingga menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda yaitu AMS bagian B, di Yogyakarta. Kemudian melanjutkan Corps Opleiding Reserve Officeren (CORO) di Bandung Jawa Barat. Selama setahun ia mengikuti kursus perbankan di Syomin Ginko, dahulu bernama AVB dan sekarang menjadi Bank Rakyat Indonesia. Sejak saat itu minatnya di bidang moneter menjadi sangat kuat. Ketekunannya itu yang membuat NU selalu mempercayakan bidang ekonomi dan keuangan kepadanya, sampai akhirnya oleh Bung Karno dipilih sebagai Menteri Perdagangan.
Beristerikan Ny Soetariyah, Rachmat Mulyomiseno dikaruniai delapan orang putera-puteri dengan puluhan cucu. Sejak tahun 1971 ia menjadi anggota DPR/MPR hingga tahun 1987, mewakili Partai NU dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pribadi yang sederhana dan suka memberikan nasihat kepada para anak muda ini berpulang ke rahmatullah pada tahun 1984 di Jakarta. Meninggalkan sejumlah kenangan dan satu yang monumental adalah PP No.10/1959.
Masa Perjuangan
Revolusi mengerakkan seluruh masyarakat untuk bergerak, tak terkecuali pemuda Rahmat Mulyomiseno terlibat dalam revolusi perjuangan bersenjata 1945. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan pemrintah RI hijrah ke Yogya, saat itu Rachmat bergabung ke dalam organisasi POPDA di Solo. Saat terjadi penculikan Syahrir di Solo, oleh sayap militer pimpinan Mayor AK Yusuf, Rachmat bersama Letjen TNI S Parman mempertahankan gedung POPDA bersama barisan pemuda lainnya.
Untuk memperkuat persenjataan pasukan pejuang RI, Rachmat Mulyomiseno turut menyelundupkan senjata dan transmitter (alat penerima gelombang radio) dari Philipina bersama Mayor Udara Suharnoko dan Mayor Nurtanio. Penyelundupan dilakukan dengan pesawat amphibi. Ia juga bergabung dalam Sandi (Direktorat Sandi Negara) sejak tahun 1946, hingga saat-saat sebelum Agresi Belanda I. Sebuah peristiwa bersejarah yang tidak bisa ia lupakan oleh Rachmat Mulyomiseno, sebagai soerang ahli ekonomi dan keuangan adalah ia orang yang pertama kali membawa Uang RI atau Oeang RI (ORI) dengan kereta api dari Solo ke Jakarta. Tidak disebutkan berapa banyak uang yang dibawanya itu.
Tokoh Perbankan
Rachmat Mulyomiseno sesungguhnya adalah orang Bank. Dengan latar belakang pendidikan yang disebutkan di atas, ia lama malang melintang di dunia perbankan, tanpa meninggalkan semangat kejuangannya bagi kemerdekaan Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi bendahara Serikat Buruh Bank Rakyat Indonesia. Tiga tahun kemudian ia diperbantukan pada Angkatan Darat/Departemen Pertahanan. Kemudian kembali lagi ke dunia perbankan, dengan menjadi Ketua Perhimpunan Bank-Bank Swasta Nasional sejak tahun 1952-1957. Bersamaan dengan ini menjadi Wakil Ketua Dewan Ekonomi Pusat , yang kemudian mangantarkannya menjadi Menteri Perdagangan.
Rachmat juga menjadi anggota Badan Musyawarah Nasional (Bamunas) sejak tahun 1952 hingga tahun 1956. Ketika NU menjadi partai politik tersendiri pada tahun 1952, ia tertarik dengan gagasan yang nasionalis dan populis dari partai itu, maka beberapa saat kemudian yakni pada tahun 1953 ia secara resmi bergabung dalam Partai Nahdlatul Ulama, yang kemudian dipercaya memimpin Himpunan Pengusaha Muslimin Indonesia (HPMI) sejak didirikan hingga akhir hayatnya.
Dengan prestasinya di bidang ekonomi dan perbankan itu Partai NU mengusulkan dia sebagai Menteri Perdagangan pada Bung Karno. Sebagai Partai besar NU selalu mendapat jatah kabinet yang memadai, karena itu usulan tersebut diterima dengan baik oleh Presiden. Apalagi yang diusulkan bukan orang biasa, tetapi mumpuni dalam bidangnya. Sebagai seorang profesional di bidang ekonomi dan keuangan, dengan cara kerja yang correct, maka ia dapat menyelesaikan tugas sebagai menteri dengan baik, Rachmat kembali ke habitatnya sambil terus melaksanakan tugas politiknya di DPRGR/MPRS.
Tampaknya ia seorang yang yang giat belajar, terbukti selesai menjadi Menteri Perdagangan Rachmat masih memperdalam ilmunya dengan melanjutkan kuliah di Universitas Krinadwipayana Jakarta dan lulus sebagai Sarjana Ekonomi dalam ilmu manajemen perusahaan pada tahun 1967. Dengan keahliannnya itu tahun 1968 ia menjadi wakil ketua Konferensi Kamar-Kamar Niaga dan Industri (KKNI) di Jakarta, yang merupakan salah satu sayap Kadin-Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Selama menjadi anggota DPR selalu dipercaya dan terpilih menjadi Ketua Komisi VII (ketika itu) yang membidangi masalah keuangan dan angaran. Dengan demikian selalu bermitra kerja dengan departemen keuangan dan perbankan. Ia kerap mengeluarkan pernyataan kritik yang tajam bagi dunia perbankan, sekaligus memberikan saran jalan keluarnya. Ini sebagai upaya untuk menjaga kemandirian perekonomian Indonesia, sesuai dengan jiwanya yang nasionalis-populis.
Walaupun sebagai seorang ekonom, tetapi pandangannya tidak pragmatis, maklum veteran pejuang 1945, karena itu ia giat mempelopori dilakukannya hak angket DPR untuk membongkar kasus korupsi di Pertamina. Sayangnya usul ini ditolak oleh rekan separtai dari unsur Muslimin Indonesia (MI) kelompik eks Masyumi. Demikian juga militansinya untuk membela keadilan juga ia lakukan, bersama Nuddin Lubbis dan 15 unsur NU yang lain Rachmat Mutyomiseno yang ikut membela dan memperjuangkan nasib Petisi 50 yang ditindas. Dalam hal ini NU didukung oleh dua orang anggota PDI. Lagi-lagi MI mengecam sebagai unsur kecil lari dari perjuangan, malah berbaris bersama Golkar merepresi kekuatan kritis dalam masyarakat.
Pengalaman paling tagis yang dialaminya adalah ketika Kelompok MI (eks Masjumi) berusaaha mengincar posisi ketua Ketua Komisi VII yang dipegang oleh NU yang diketuai Rachmat Mulyomiseno. Pantas komisi ini diincar MI karena membidangi masalah Perdagangan, Keuangan dan Bank Sentral. Untuk menjaga hubungan persahabatan dengan berat hati NU melepas ketua komisi VII kepada MI dengan kesepakatan, segera dikembalikan setahun kemudian. Namund alam persidangan tahun berikutnya (1979) MI mengkhianati perjanjian, tidak mau dilakukan rotasi jabatan, jabatan itu dipegang terus oleh MI.
Pengkhianatan itu membuat retak Hubungan NU dengan MI. Ditambah lagi sikap Naro dengan MI yang otoriter, dengan dukungan pemerintah, menggusur tokoh NU dari partai yang dibangunnya sendiri. Ini merupakan upaya orde baru menghancuran PPP dari dalam melalui Naro dan kawan-kawan. Rachmat menerima persekongkolan itu dengan tabah hati.
Walaupun Rachmat terdepak dari posisi politisnya di DPR, namun semua kalangan finansial senior mengakui bahwa Rachmat sebagai ahli perbankan piawi dan memiliki akses yang kuat dengan jaringan bank-banak Negara yang ada. Ia kerap berdiskusi dengan dengan pakar ekonomi keuangan Prof Sumitro bahkan dengan ayahnya Margono Djojohadikusumo. Karena itu nama tokoh NU ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kelahiran perbankan nasional, khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Nasional Indonesia (BNI).
Dalam kapasitas sebagai Ketua Komisi VII DPR, jika melaksanakan kunjungan ke berbagai daerah. Sebagai seorang veteran pejuang dan aktivis partai Rachmat Mulyo senantiasa “ditembak” untuk memberikan ceramah tentang perbankan dan situasi keuangan yang aktual. Maklum saja, para pemimpin bank Negara di daerah adalah kader-kadernya yang sudah berfungsi sebagai penerus.
Sebagai seorang pejuang bagi bangsa dan rakyatnya Rahmat tidak pernah surut dari semangat itu, karena itu selama masa Orde Baru ketika menjadi DPR-RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ia mewakili unsur NU, suara kritisnya terus jalan, terutama melakukan kritik terhadap Orde Baru yang secara besar-besaran memasukkan modal asing tanpa memperhatikan kekuatan rakyat Indonesia. Karena sikap kritisnya itulah kemudia dia turut diboldoser orade baru bersama tokoh oposisi dari unsur NU lainnya. Sebagai seorang pejuang, hal itu dianggap resiko perjuangan yang ia lakukan dengan ikhlas demi kepentingan negara dan rakyat. (ts/H A Baidhowi Adnan/Wakil Ketua LTN NU/nu.or.id). (em)