NBCIndonesia.com - Kepala Desa (Kades) Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jateng Djoko Widoyo, sepertinya menghadapi dilema cukup berat. Ini terkait dengan rencana pembongkaran makam dan autopsi jasad terduga teroris almarhum Siyono (34) di TPU Brengkungan.
Di satu sisi, Kades harus 'mengamankan' surat pernyataan kesepakatan bersama warga Desa Pogung yang diwakili RT, RW, BPD, dan tokoh masyarakat, dan Pemerintah Desa (Pemdes) Pogung. Mereka sepakat menolak rencana pembongkaran makam dan autopsi jenazah Siyono.
Di sini lain, juga menghadapi tim dokter forensik independen Muhammadiyah. Mereka bersikukuh, tetap melakukan pembongkaran makam dan autopsi jenazah Siyono. Hanya soal waktu, tempatnya saja yang belum ditetapkan.
''Kita tetap akan melakukan outopsi, karena sudah menerima surat kuasa dari isteri almarhum Siyono, Suratmi,'' kata Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjutak.
Kades Djoko Widoyo menghadapi situasi dilematis. Ia sudah ditemui rombongan Muhammadiyah yang dipimpin Dahnil. Namun, Kades juga tetap bersikukuh 'mengamankan' kesepakatan warga. ''Kami harus ngemong (mentaati) kesepakatan warga. Itu sudah menjadi keputusan bersama,'' katanya.
Husni Thamrin, fungsionaris PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kabupaten Klaten, menyayangkan sikap keras kepala Kades. Meski demikian, ia minta pemerintah desa tetap menghargai niat dan tekad Muhammadiyah.
Begitu pula, Muhammadiyah juga menghargai sikap warga yang menolak pembongkaran makam dan autopsi jenazah Siyono. ''Kalau ingin tercipta situasi kondusif, dan win-win solution, Muhammadiyah dan pemerintah desa saling menghargai sikap masing-masing,'' kata Husni Thamrin.
Seperti diketahui surat pernyataan yang dibuat bersama Pemerintah Desa berisi tiga poin. Pertama, kalau terjadi otopsi, maka pelaksanaan harus dilaksanakan diluar Desa Pogung. Kedua, jenasah setelah diotopsi tidak boleh dikubur di wilayah Desa Pogung.
Ketiga, keluarga yang mendukung otopsi tidak boleh tinggal di wilayah Desa Pogung. PP Muhammadiyah, sepertinya tidak keberatan dengan tuntutan tersebut. Nantinya, outopsi dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Entah di Solo atau Yogyakarta.
Lima sampai delapan tim dokter forensik dari UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta dan dokter PKU Muhammadiyah sudah dipersiapkan. Soal pemakaman jenazah usai dioutopsi, kata Husni Thamrin, juga tidak ada kendala.
Pihaknya, sudah siap mengubur di pemakaman moslem di Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Atau justru dengan pengalaman ini, Muhammadiyah terdorong untuk pengadaan lahan untuk mencari lokasi khusus untuk pemakamana moslem di Kelurahan Belang Wetan, Klaten Utara, Kabupaten Klaten.
Sedang tuntutan isteri Siyono, Suratmi bersama lima anaknya diminta hengkang dari tempat tinggal, juga bukan persoalan berat. PDM Muhammadiyah siap mencarikan lokasi tanah, berikut menyantuni lima anak yatim keturunan Siyono.
Husni Thamrin kecewa dengan sikap warga, berikut pemerintah desa. Masalahnya, pelarangan outopsi bukan hak warga atau pemerintah desa. Hak sepenuhnya ada ditangan keluarga. Jadi, warga maupun pemerintah desa tidak mempunyai kewenangan secuilpun untuk melarang. Dan, Suratmi sudah memberi kewenangan penuh ke PP Muhammadiyah. (rol)