Deretan traktor yang akan dibagikan ke petani saat kunjungan kerja Presiden Jokowi di Desa Jetis, Ponorogo, beberapa waktu lalu. |
"Ada yang bayar Rp 7 juta per unit, tapi kalau kelompok tani saya menawar, jadi hanya bayar Rp 2,5 juta per unit," kata dia, Senin (18/1).
Pascaditebus, traktor pun tak lantas digunakan oleh petani karena lanjut dijual lagi dengan harga serupa kepada pengusaha traktor setempat. Setelah itu, barulah petani mrnggunakan traktor dari pengusaha dengan siatem sewa. Kasus tersebut terjadi di Desa Kalensari Kecamatan Widasari Indramayu.
Praktik penebusan traktor dari dinas kemudian dijual lagi ke pengusaha dengan harga serupa disulut oleh sistem pertanaman yang selama ini berjalan di masyarakat. Sebab, di wilayahnya petani menggarap sawah bergantung penyediaan traktor oleh pengusaha setempat. Masing-masing pengusaha telah memiliki wilayah garapan sendiri.
Ketidaktepatan pemberian bantuan juga terjadi pada benih subsidi. Benih tersebut datang terlambat sehingga petani memutuskan untuk menggiling benih tersebut menjadi beras. "Lagipula kita di Indramayu memuliakan benih sendiri yang adaptif terhadap lahan setempat," ujarnya.
Dari sekian contoh tersebut, ia ingin pemerintah mengalihkan gelontoran bantuan untuk petani menjadi subsidi langsung. Jika tidak, dana bantuan dapat dialihkan untuk mengedukasi petani dan subsidi harga, di mana pemerintah menyediakan dana agar menjaga harga produk pertanian petani bernilai jual tinggi. "Ketimbang menyalurkan subsidi dengan cara lama, malah hanya menguntungkan pengusaha benih dan pupuk, sementara petani tak kunjung sejahtera," tuturnya.
Seperti diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) melanjutkan program bantuan subsidi untuk petani dengan menyalurkan benih, pupuk dan alat mesin pertanian di 2016. Penandatanganan kontrak pengadaan barang dan jasa Kementan 2016 dilakukan bersama mitra pihak ketiga senilai Rp 34,6 triliun. (ROL)