PT Freeport Indonesia rescuers gather inside a tunnel that collapsed on Tuesday morning as they continue the attempt to rescue trapped workers at Big Gossan mining area in Mimika, Papua on Sunday (19/5). AP/PT Freeport Indonesia |
Begitu pernyataan pengamat energi, Yusri Usman. Dia merasa keheranan, mengapa perusahaan tambang yang tidak taat terhadap hukum di Indonesia masih diberikan izin untuk mengekspor hasil tambangnya.
Tapi, di sisi lain, perusahaan tambang yang jelas-jelas mematuhi segala peraturan yang berlaku di tanah air, justru tidak mendapat keleluasaan seperti yang didapat Freeport.
“Lantas kok kita mau dijajah dan tunduk terhadap hal seperti ini (ketidaktaatan terhadap hukum)? Sementara semua pemilik Izin Usaha Produksi (IUP) dan BUMN Tambang milik BUMN harus taat mengikuti semua aturan dan Perundang Undangan yang berlaku,” heran Yusri, saat diminta berkomentar, Kamis (21/1).
“Ini piye? Dimana keadilan dan harga diri pemerintah kita? Baik di mata pengusaha dalam negeri maupun investor asing yang taat hukum?” imbuhnya.
Menurut dia, keputusan Menteri ESDM untuk memberikan izin perpanjangan ekspor kepada Freeport, secara jelas telah melanggar Undang-Undang (UU).
“Kalau dari kacamata UU Minerba dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 perubahannya, PP Nomor 12 Tahun 2012 dan PP Nomro 77 Tahun 2014 jelas melanggar,” tegas dia.
Diketahui, sebelum memberikan izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada Freeport, ada beberapa pertimbangan yang seharusnya didalami oleh pemerintah.
Pertama, pembebanan bea ekspor maksimal seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2014 pada Pasal 13 dan 14.
Pasal tersebut menyebutkan secara tegas, bahwa perpanjangan rekomendasi akan diberikan apabila Freeport sudah memenuhi 3 syarat yaitu, kemajuan pembangunan smelter sudah mencapai 60 persen dari target setiap 6 bulan,
Faktanya, ‘progress’ pembangunan smelter baru mencapai 11persen dan Amdalnya belum selesai.
Kedua, Freeport sudah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan yang sudah memenuhi baku mutu kualitas udara dan air sesuai UU.
Dan terakhir, Freeport harus melunasi kewajibannya berupa penerimaan bukan pajak selama 6 bulan terakhir, serta dibebankan bea ekspor progresif sesuai kemajuan pembangunan smelter, sesuai Permen Keuangan nomor 153/PMK 011/2014.
Atas dasar itulah, mengapa banyak kalangan mempertanyakan keputusan Menteri Sudirman Said untuk memperpanjang izin ekspor konsentrat Freeport. Dan itu justru bertolakbelakang dengan pernyataan dia sebelumnya.
Menurut Sudirman, Freeport sendiri sudah 3 tahun tidak membayar dividennya kepada pemerintah. (akt)