logo
×

Minggu, 24 Januari 2016

Kasus Mirna Diungkap, Kasus Falya Korban Diduga Malapraktik Tak Jelas

Kasus Mirna Diungkap, Kasus Falya Korban Diduga Malapraktik Tak Jelas
Ilustrasi
NBCIndonesia.com - Sudah tiga bulan berlalu, kasus kematian bayi Falya Raafani Blegur berusia 1,4 bulan yang tewas akibat dugaan malapraktik yang dilakukan dokter RS Awal Bros Kota Bekasi yang meninggal pada 1 November 2015 lalu, nampaknya tak ada penyelesaiannya oleh pihak Kepolisian Polda Metro Jaya.

Padahal jika diingat pada beberapa waktu lalu kasus ini ramai dibicarakan hampir di seluruh media massa. Seakan mencari panggung, kepolisian pun berjanji akan mengungkap kasus tersebut, nyatanya hingga saat ini pun tak juga ada kejelasannya.

Ada dugaan pihak Kepolisian Polda Metro Jaya yang melakukan penanganan kasus kematian bayi anak pasangan Blegur Ibrahim (36) dan Eri Kusrini (32) itu sengaja menutupi kasus tersebut. Pasalnya sudah tiga bulan pihak keluarga belum mendapat kepastian dari pihak kepolisian.

Menurut Ibrahim Blegur (36), Ayah Falya mengatakan sampai tiga bulan berlalu, kasus anaknya tak juga ada kejelasan. Khususnya, dari hasil otopsi jenazah Falya yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya.

"Belum ada hasil yang kami terima, kasusnya pun seakan jalan ditempat tidak kepastian dari penyidik yang menangani kasus anak kami. Padahal kami berharap polisi bisa mengungkapnya," kata Ibrahim dirumahnya, Minggu (24/12016) hari ini.

Diungkapkan olehnya, jika dibandingkan dengan kasus kematian Wayan Mirna Salihin, perempuan yang tewas akibat menyeruput kopi bercampur sianida di sebuah kafe di Jakarta beberapa pekan lalu. Menurut dia, penyidik justru lebih cepat menemukan penyebab kematian Mirna.

Padahal kasus kematian anaknya terlebih dahulu dia laporkan ke aparat Polda Metro Jaya. Oleh karenanya, kata dia, tayangan kematian Mirna di televisi dan media online sungguh menyayat hati pihak keluarga Falya.

"Ini ada apa? Kenapa penyebab kematian anak saya sulit diungkap, sedangkan kematian Mirna bisa terungkap hanya beberapa hari saja," Ungkapnya.

Lebih jauh, Ibrahim mengatakan, jenazah Falya diautopsi penyidik pada 27 November 2015 lalu. Dan Polisi pun berjanji menguak kasus kematian Falya yang memang diakui mereka ada kesalahan terkait penanganan dokter terhadap anak keduanya tersebut.

Dan akhirnya Penyidik membongkar makam Falya untuk menemukan kandungan antibiotik yang disebut-sebut sebagai pemicu nyawa Falya melayang. Namun hingga kini, pihak keluarga tidak memperoleh hasilnya.

"Padahal saat itu penyidik berjanji hasilnya akan terungkap 10-12 hari kemudian," ujar Ibrahim.

Lantaran tak mendapat kepastian tentang hasil autopsi anaknya, Ibrahim lalu kembali menyambangi Polda Metro Jaya. Namun ia terpaksa harus menahan pil pahit dari ucapan penyidik yang terkesan menutupi kasus tersebut.

Ibrahim menuding, ada sesuatu dibalik kasus kematian anaknya. Sebab dua pejabat kepolisian dari Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya yang menangani kasusnya, memberikan alasan berbeda terkait sulitnya kematian Falya terungkap.

"Penyidik pertama sebut anggota tak punya alat untuk mengukur antibiotik yang ada di tubuh Falya, penyidik kedua bilang hasil autopsi tidak bisa diumumkan karena untuk penyelidikan. Ini aneh, satu institusi tapi beda pandangan," ucap Ibrahim.

Dengan apa yang dia dapatkan itu, diakui Ibrahim, dirinya bingung harus kemana lagi dia melapor kejadian ini. Segala cara sudah ia tempuh, hanya untuk mencari keadilan untuk anaknya.

Seperti melapor ke Pemkot Bekasi, DPRD Kota Bekasi bahkan Ikatan Dokter Anak (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah ia jalani. Tapi, kasus ini justru malah terkatung-katung. "Kami cuma minta kejelasan kematiannya, tidak ada yang lain," ujarnya.

Menurut Ibrahim, sebetulnya penyidik sudah bisa meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan untuk menentukan tersangka. Sebab ia telah membeberkan sejumlah bukti foto, video dan hasil laboratorium setelah anaknya diberikan antibiotik oleh rumah sakit.

Ibrahim yakin, kematian anaknya disebabkan karena antibiotik yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Hal ini terungkap dari uji laboratorium yang ia dapat dari rumah sakit tersebut.

"Sebelum diberi antibiotik, kadar leukosit anak saya di kisaran 9.000, tapi setelah disuntik antibiotik berubah menjadi 23.000. Dari hasil ini saja sudah kelihatan, ada kesalahan dalam penanganan anak saya," tegas Ibrahim.

Merasa mendapat perlakuan yang tidak mengenakan ini, Ibrahim lalu beranggapan hukum hanya bisa dinikmati oleh golongan orang tertentu saja. Hingga kini, dia berharap kasus anaknya bisa segera diselesaikan secepatnya.

"Ternyata benar anggapan orang selama ini, hukum itu tumpul keatas, tajam ke bawah. Artinya untuk golongan atas (kaya) tak berarti, tapi untuk golongan bawah sangat berat," katanya. (ok)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: