Ratzinger (depan) dan Paus Benedictus (belakang) |
Georg Ratzinger (92) membantah adanya hukuman keras yang berujung pada kekerasan s*ksual di gereja tempatnya membaktikan diri sejak 1951. Kelompok paduan suara tempat ratusan korban itu bergabung baru dipimpin oleh kakak tertua Paus ke-265 di Gereja Katolik Roma itu pada 1964-1994.
Kasus ini sudah mengguncang gereja tertua di Vatikan sejak 2010. Tahun pertama Paus Benedictus dipilih menjadi pemimpin umat Katolik sedunia menggantikan posisi Paus Yohanes Paulus II yang meninggal dunia karena sakit keras.
Ratzinger menegaskan, insiden pelecehan s*ksual itu tidak pernah ia dengar atau dilaporkan anak-anaknya saat ia masih melatih mereka.
Sedangkan menurut investigasi salah seorang pengacara Jerman yang membela para korban, sebagai pemimpin paduan suara yang terkenal di Jerman itu, Ratzinger seharusnya mengetahui hal itu.
“Saya memiliki 231 laporan kekerasan fisik di sini. Dari 70 anak yang saya wawancara, 50 anak secara terbuka menyebutkan 10 nama pelaku dari kalangan pendeta. Mereka menerima kekerasan berupa pelecehan s*ksual, pukulan dan dilarang makan selama pertengahan 1970-an,” ungkap pengacara korban Ulrich Weber, seperti dikutip dari The Journal, Minggu (10/1/2016).
Beredar kabar, pendeta di gereja-gereja Katolik di Regensburg, Batavia memang suka mengganjar hukuman sadis terhadap anak-anak didiknya. Mereka dipaksa membuka baju dan membungkuk untuk kemudian dipukuli bahkan beberapa di antaranya ada yang disodomi.
Kadang-kadang, pendeta di sana juga memaksa para putra altar meminum anggur. Lalu para pendetanya memamerkan cara bermasturbasi dan tidak jarang meminta anak-anak itu gantian bermasturbasi serta mempraktikan oral sex di hadapan mereka dan kepala s*kolahnya.
Tahun 2010, ketika kasus kekerasan di gerejanya terungkap ke publik. Ratzinger pernah meminta maaf atas tamparan yang ia hantamkan ke pipi anak didiknya. Namun berkilah tak tahu menahu mengenai pelecehan s*ksual yang menimpa murid-muridnya.
“Saya sendiri merasa buruk jika ada kekerasan terjadi di sekolah (gereja). Saya senang ketika pada tahun 1980, hukuman fisik dilarang oleh anggota parlemen. Meski harus saya akui bahwa memberikan hukuman fisik sebenarnya adalah reaksi yang normal untuk mendisiplinkan mereka,” ujar Ratzinger kala itu, dilansir dari The Daily Beast.
Ulrich Weber baru ditugaskan gereja untuk menyelidiki kasus ini, dua tahun setelah Paus Benedictus mundur dari jabatannya pada tahun 2013. Dalam risetnya, ia berhasil mengumpulkan 231 keluhan. Namun ia meyakini jumlah sebenarnya mencapai satu per tiga dari 2.100 murid di gereja Katolik Jerman tersebut.
“Sayangnya, upaya ini terkendala undang-undang pembatasan penanganan kasus yang telah lama habis. Ditambah, dengan fakta bahwa sebagian besar imam cabul pada periode empat dekade itu telah meninggal, keadilan tidak akan pernah bisa ditegakkan (atas pelaku),” terang Weber.
Kini, kasus itu diusut lagi secara lebih transparan oleh Paus Fransiskus. Bishop Gereja Katedral Santa Peter di Regensburg, Jerman Rudolf Voderholzer resmi meminta maaf atas insiden yang pernah terjadi di gerejanya melalui konferensi pers pada Jumat 8 Januari 2016.
“Ini menyakitkan bagi saya bahwa kasus yang terjadi pada tahun-tahun belakangan itu adalah kasus kemanusiaan yang menimpa anak-anak. Jiwa mereka tersiksa benar. Saya tidak mengulang waktu, jadi saya hanya bisa memohon pengampunan dari para korban,” tegasnya. (okezone)