Ilustrasi Tangkap Teroris | NET |
Kepala PPATK, Dr Muhammad Yusuf, menjelaskan, terungkapnya dana yang dipakai kegiatan teroris itu atas temuan anak buahnya yang bekerja di Kantor PPATK Australia.
Menurut dia, ada warga negara asing (WNA) berinisial L yang beristri WNI asal Nusa Tenggara selalu berkirim uang dalam jumlah besar. Dalam pengiriman itu tak ditransfer ke rekening pribadi atau istrinya saja.
"Dari penyelidikan PPATK, istri WNA Australia itu juga memberikan pada seseorang berinisial H. Ketika dikoordinasikan dengan Densus 88, H adalah yang mengirim uang ke pemasok senjata yang ada di Filipina," tutur M Yusuf usai memberi pembekalan kepada penyidik jajaran Polda Jatim, Rabu (20/1/2016).
Menurutnya, uang yang ditransfer ke rekening pribadi oknum WNA Australia juga dikirim ke salah satu bank milik sebuah yayasan. Yayasan itu pernah memberangkatkan seorang pria ke Suriah pada 2015 dan akhirnya tewas.
"Kalau dilihat, ada korelasinya dan itu perlu didalami," tandasnya.
Yusuf menilai, kelemahan yang mencolok itu terjadi pada daerah-daerah yang tak memiliki kepabeanan. Barang-barang ilegal termasuk senjata api (senpi) bisa bebas masuk ke Indonesia.
"Kan nggak mungkin senjata api itu datang sendiri. Pasti didatangkan dengan cara ilegal dan yang mempunyai wewenang adalah Bea Cukai. Padahal tidak semua daerah ada Bea Cukainya," katanya.
Dari tengara yang ada, Yusuf memberi wacana kepada Menkopolhukam terkait revisi UU Kepabeanan selain rencana revisi pada UU Terorisme.
"Ini untuk menguatkan posisi Indonesia terhadap ancaman terorisme dan ancaman lain yang perlu bersinergi. Menkopolhukam sebagai leader dengan under pressure ke Menkeu," papar Yusuf.
Dalam penanganan ini, penyidik Polri harus disertakan atau dilibatkan mengingat minimnya keberadaan Bea Cukai.
"Kami melihat kekuatan personel Bea Cukai masih terbatas, pengetahuan terbatas dan kemampuan terbatas bisa ditangani Polri. Semua ini karena mempunyai tenaga banyak, sumber daya yang besar dan pengalaman penyidikan yang bagus," urai Yusuf. (tn)